Pontianak (ANTARA News) - Deplu Republik Indonesia sudah mengirim nota diplomatik ke Kedutaan Besar Vietnam, China, dan Taiwan, terkait penangkapan 17 kapal motor berbendera ketiga negara itu beserta 151 Anak Buah Kapal yang kedapatan mencuri ikan di perairan Natuna, ungkap Direktur Konsuler Deplu RI, Indra Kesuma Oesman. "Kita sudah menyampaikan nota diplomatik ke ketiga negara tersebut agar melakukan proses verifikasi agar bisa dilakukan deportasi secepat mungkin. Perwakilan ketiga negara itu juga sudah meninjau langsung kondisi para ABK yang dititipkan di dermaga Tempat Penampungan Ikan Jeruju (Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat)," kata Indra Kesuma Oesman, di Pontianak, Kamis. Ia berharap, setelah disampaikannya nota diplomatik ke masing-masing Kedubes yang bersangkutan, proses pendeportasian bisa dilakukan secepat mungkin, karena jika tidak, dikhawatirkan akan membawa permasalahan baru, seperti biaya makan selama menunggu proses pendeportasian dan belum lagi masalah sosial lainnya. "Paling cepat proses pendeportasian para ABK asing tersebut dua bulan, itupun kalau Kedubes yang bersangkutan proaktif dalam membantu warga negaranya agar bisa secepatnya dipulangkan ke negara asal," kata Indra. Sementara itu, Komandan TNI-AL Pontianak, Letnal Kolonel (Laut), Taufik Harun mengatakan, pihaknya sudah menitipkan 151 ABK dari ketiga negara tersebut ke Imigrasi Pontianak, untuk proses hukum selanjutnya. "Tetapi hingga kini para ABK tersebut masih berada di dermaga TPI Jeruju, karena Imigrasi tidak mempunyai tempat untuk menampung ABK sebanyak itu," kata Taufik Harun. Ia mengatakan, karena barang bukti berupa ikan sifatnya mudah membusuk, maka secepatnya akan dilakukan lelang, berdasarkan UU No. 5 tahun 1985 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2007, karena ikan ditangkap di kawasan ZEEI yang merupakan kewenangan TNI-AL. Uang hasil lelang, sementara disimpan sebagai barang bukti untuk persidangan. "Kita berharap, proses pendeportasian bisa dilakukan secepat mungkin, agar tidak menimbulkan masalah lain," ujarnya. Sebelumnya, 17 kapal motor berbendera asing, yang diamankan oleh kapal Pengawas Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ketika mencuri ikan di kawasan ZEEI, dititipkan di dermaga Tempat Penampungan Ikan, Jeruju, Kabupaten Kubu Raya. Ke-17 kapal asing tersebut, enam KM dari Vietnam, enam KM China dan enam KM dari Taiwan dengan ABK sekitar 151 orang. Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sulastro pada kesempatan lain, mengungkapkan, pada 2007 DKP menyelamatkan kerugian negara dari pencurian ikan sebesar Rp460 miliar, sementara pada 2008 (Januari hingga April) sekitar Rp295 miliar. Asal nelayan asing yang sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, diantaranya dari China, Taiwan, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Saat ini, DKP menahan 75 unit kapal di Ranai dan 60 kapal di Pontianak. "Sebaiknya kapal nelayan asing yang dirampas oleh negara itu bisa dimanfaatkan oleh nelayan maupun untuk kepentingan lain, misalnya untuk mengawasi perairan Indonesia," ujarnya. Ia mengatakan, agar barang bukti berupa KM bisa dimanfaatkan, diharapkan, proses hukumnya bisa dilakukan secepat mungkin. Aji Sulastro mengatakan, pihaknya akan melakukan proses deportasi dengan prosedur cepat, yaitu dengan cara menalangi biaya pengiriman ABK itu ke negara asal, setelah itu biayanya akan dibayar oleh negara yang bersangkutan. Menurut catatan DKP, ada ratusan nelayan asing yang akan dideportasi secepatnya, di antaranya di Ranai sebanyak 220 orang, di Timika 309 orang dan di Pontianak 150 orang. FAO (Food and Agriculture Organization) memperkirakan kerugian Indonesia akibat pencurian ikan mencapai Rp30 triliun per tahun berdasarkan estimasi tingkat kerugian sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. FAO memperkirakan saat ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih memungkinkan untuk ditingkatkan penangkapannya tinggal 20 persen, sekitar 55 persen dalam kondisi pemanfaatan penuh, dan sisanya 25 persen terancam kelestariannya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008