Jakarta (ANTARA News) - PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO) di Jakarta, Jumat, melaporkan laba bersihnya dalam triwulan pertama 2008 mencapai 139,6 juta dolar Amerika Serikat (AS) --tidak diaudit-- atau 0,014 dolar AS per saham, turun dibandingkan laba bersih periode sama tahun lalu 227,8 juta dolar atau 0,023 dolar AS per saham. Dalam tiga bulan pertama tahun ini, penjualan Inco mencapai 380 juta dolar AS, menyusut dibandingkan dengan 446,7 juta dolar AS pada triwulan yang sama 2007. Menurut Presiden Direktur PT Inco, Arif Siregar, penurunan penjualan terutama karena turunnya harga realisasi rata-rata nikel dalam matte. Produksi nikel dalam matte pada triwulan pertama 2008 sebesar 20.136 metrik ton, dibandingkan dengan 17.980 metrik ton pada periode yang sama 2007. "Kami mencapai hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dimana kenaikan kurang lebih 1.200 metrik ton, di antaranya disebabkan oleh penundaan rencana penghentian pemeliharaan tanur listrik menjadi di bulan April 2008 dan selebihnya karena operasi yang lebih baik," jelasnya. Angka produksi mencerminkan sedikit lebih dari 25 persen target optimis produksi 2008 sebesar 78.000-hingga-79.000 metrik ton. "Perseroan mencapai hasil ini karena kenaikan kadar nikel, tersedianya energi untuk tanur listrik dan peningkatan efisiensi produksi, meskipun kenyataannya kami mengalami tingkat curah hujan yang lebih rendah dalam wilayah utama kami dibandingkan dengan periode yang sama 2007," ungkapnya. Harga realisasi rata-rata nikel dalam matte PT Inco adalah 21.187 dolar AS per metrik ton pada triwulan pertama 2008, dibandingkan 29.149 dolar AS per metrik ton pada periode sama 2007 dan 23.816 dolar AS per metrik ton pada triwulan keempat 2007. Biaya produksi tunai per unit pada triwulan pertama 2008 naik 20 persen menjadi 8.857 dolar AS per metrik ton dari 7.386 dolar AS per metrik ton pada triwulan sama 2007. Peningkatan ini, kata Arif Siregar, terutama disebabkan meningkatnya harga minyak bakar berkadar sulfur tinggi (HSFO) dan meningkatnya harga dan pemakaian disel. "Peningkatan ini diimbangi sebagian dengan lebih rendahnya biaya karyawan," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008