Denpasar (ANTARA News) - Tari Oleg Tambulilingan hidup dalam "keabadian". Remaja Pulau Dewata senantiasa berangan-angan bisa menguasai tari "romantis" itu secara sempurna. Namun untuk dapat menari Oleg Tambulilingan secara paripurna, memang tidak mudah. Oleg Tambulilingan adalah tari yang mengandalkan kelincahan olah tubuh diiringi instrumen gamelan hasil "racikan" (alm) I Ketut Maria, seniman asal Tabanan. Koreografer yang lebih dikenal dengan panggilan Mario menjadikan Tamulilingan sebagai ikon yang amat kesohor hingga ke mancanegara. Adalah I Gusti Ayu Raka (68), wanita yang beruntung didaulat I Ketut Maria menjadi penari perdana tari "romantisme" itu. Lewat gemulai tubuh perempuan kelahiran Gianyar, 31 Desember 1939 itu, Oleg Tamulilingan menjadi termasyhur. Ibu dari empat putra-putri yang masih enerjik pada usia senjanya itu memang mengabdikan hidupnya untuk menari. "Bila tak menari, tubuh terasa kelu. Saya senang mewariskan Legong dan Oleg Tamulilingan kepada generasi penerus sebagai pengorbanan suci (nyadnya)," tutur istri (almarhum) Anak Agung Gede Djelantik itu. Berkat kharisma, kepiawaian dan kelincahan yang dimilikinya, Ayu Raka terbang ke berbagai negara untuk menari Oleg Tamulilingan. Sosok wanita yang masih "menyimpan" sisa-sisa wajah menawan itu, pertama kali melawat ke Paris, lantas ke Eropa dan Amerika Serikat pada 1953. Ketika menginjak umur 12 tahun, Ayu Raka bergabung dengan Sekaha Gong Peliatan, perkampungan seniman Ubud. Lawatan tim kesenian Indonesia tersebut meraih sukses yang luar biasa dan Ayu Raka cilik saat itu dielu-elukan sebagai penari bintang. Seorang impresario asal Inggris, John Coast menobatkan Ayu Raka sebagai penari bintang, berkat penampilannya yang memukau saat menari Condong Legong, Garuda dan Oleg Tamulilingan. Bahkan Ayu Raka menjadi cover buku "Dancing Out of Bali" karya John Coast. Ayu Raka juga pernah mengadakan lawatan ke China (1959), Pakistan (1964), Jepang (1968), Australia (1971), Eropa (1973), Amerika (1982) dan Singapura (1996). Ayu Raka, putri sulung dari lima bersaudara pasangan I Gusti Putu Pageh-Ni Gusti Putu Kompyang itu sejak usia dini sangat menyenangi tari Bali. Ia diasuh seniman andal Gusti Made Sengog, selain mendapat motivasi kuat dari kedua orang tuanya. Wanita itu kerap memperkuat tim kesenian Bali melanglang buana. Sampai kini Ayu Raka masih tetap aktif menularkan tari Legong dan Oleg Tambuliling kepada generasi penerus. "Usia boleh senja, tapi semangat tidak boleh sirna," ujarnya. Tidak terhitung entah berapa ribu seniman terlahir dari hasil binaannya, termasuk seniman andal yang terhimpun dalam sanggar Cudo Mani Ubud, yang secara periodik mempunyai jadual manggung di luar negeri. Pengalaman Berat Ayu Raka tidak serta merta menjadi bintang. Untuk menjadi maestro Oleg Tamulilingan ia harus menempuh "laku" berat. Pada jamannya, untuk mendapatkan "agem" yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-indak dan di bawah kedua ketiak diikat stagen. "Untuk melatihan gerakan `ngelayak`, ia harus bersandar di atas meja atau tembok," katanya. Tubuh betul-betul terasa sakit setelah seharian latihan. Selama belajar tari Oleg dari I Ketut Maria, Ayu Raka digembleng dengan berbagai gerakan sulit. Mario, menurut Ayu Raka sering berlaku galak, jika murid-murid binaannya melakukan "agem dan tanjek" yang tidak benar serta kurang senyum. Kisah terciptanya Tari Oleg Tambulilingan memang unik dan berbelit-belit. Menurut gurubesar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Made Bandem, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris, Jhon Coast. Mantan Staf Kedutaan Inggris di Jakarta bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun. Untuk mewujudkan suatu diplomasi kebudayaan, ia berhasrat membawa sebuah misi kesenian besar ke Eropa dan AS. Ia pun menghadap Presiden Soekarno waktu itu, untuk menyampaikan niatnya yang akhirnya mendapat restu. John Coast menyiapkan misi keseniannya di Pulau Dewata. Buku-buku laporan peneliti asing yang menetap di Bali pada tahun 1920-1930-an dipelajarinya dan akhirnya mengetahui tentang penari terkenal I Mario dan muridnya I Sampih dari Peliatan Ubud. Coast bersahabat baik dengan pemain kendang dan Ketua Sekeha Gong Peliatan Anak Agung Gde Mandera, sehingga melalui Mandera, I Mario akhirnya bisa ditemukannya. Mandera mengutus I Sampih mencari I Mario ke Banjar Lebah Tabanan. Awalnya I Mario menolak bergabung kembali ke Sekeha Gong Peliatan karena merasa tua dan sakit-sakitan. Saat itu umur Mario diperkirakan lebih dari 50 tahun. Namun, atas desakan dan pendekatan I Sampih, penggemar sabung ayam itu akhirnya mau ke Peliatan. Pada April 1951, ketika John Coast akan membawa misi kesenian ke Eropa dan AS, ia meminta I Mario bersama Anak Agung Gde Mandera menciptakan tari baru untuk melengkapi repertori Gong Peliatan yang saat itu hanya memiliki Tari Janger dan Legong Keraton. Coast menawarkan I Mario menciptakan tari baru dengan menggunakan penari Legong Keraton, Ni Gusti Ayu Raka Rasmi dan penari Kebyar Duduk, I Sampih. Maestro yang lahir di Belaluan Denpasar pada 1899 ini menyanggupinya, namun setelah lama ia merenung dan ia tak memiliki gagasan untuk menciptakan tari yang dimaksud Coast. John Coast merangsang I Mario dengan memperlihatkan buku-buku Tari Klasik Ballet yang dilengkapi foto-foto tari "Sleeping Beauty", kisah tentang percintaan Putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming. Imajinasi Mario pun bangkit. Dari foto-foto itu ia mendapat inspirasi untuk menciptakan tari Oleg Tamulilingan. Ia langsung mengajar I Sampih tabuh lagu-lagu sederhana agar bisa memulai latihan dengan Ni Gusti Ayu Raka Rasmi. Sesudah batang-tubuh tari terwujud secara kasar, giliran sekeha Gong Peliatan diajarkan tabuh lagu kebyar untuk mengiringi tari peran laki-laki. Dari kisah itu akhirnya terciptakan tari duet yang monumental, meskipun awalnya I Mario menyebut dengan nama Tumulilingan Mangisep Sari, namun akhirnya lebih populer dengan tari Oleg Tambulilingan. (*)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008