(ANTARA News) - Sepekan terakhir ini nama staf pengajar Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Inu Kencana Syafei menghiasi lagi laporan-laporan media massa, baik lokal maupun nasional. Hanya saja, kali ini tidak berkaitan langsung dengan masalah kematian praja --sebutan peserta didik di lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Dalam Negeri (Depdagri)-- yang beberapa kali membuat nama Inu Kencana jadi dikenal luas. "Inu Kencana Mendadak Dimutasi ke Depdagri," itulah berita mengejutkan yang terjadi pada hari Kamis (8/5). Alhasil, semua media massa pada hari itu juga memberitakan secara berkesinambungan kelanjutan dari peristiwa itu. Inu Kencana sendiri semula menyatakan sangat kaget atas mutasi yang dinilainya dadakan itu. "Tak jelas jabatan saya apa, yang jelas saya dipisahkan dari mahasiswa," katanya. Dalam perkembangannya, juru bicara Depdagri, Saut Situmorang, memberikan pernyataan bahwa Inu Kencana berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 811.212.3-380 Tahun 2008 tanggal 30 April 2008 dimutasi dan dilantik menjadi pejabat eselon III di Jakarta, Kamis (85), sebagai Kepala Bidang Penataan Daerah pada Pusat Litbang Otonomi Daerah, Badan Litbang Depdagri. Meski sangat kaget atas mutasi mendadak itu, Inu Kencana akhirnya mengaku terpaksa bersedia dilantik oleh Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen Depdagri Seman Widjojo. "Saya tidak bisa menolak karena terikat pada perjanjian pegawai negeri (sipil) yang harus bersedia ditempatkan di mana saja," katanya. Namun, ia juga mengaku tidak menerima surat keputusan dari Mendagri Mardiyanto soal mutasi itu kecuali hanya surat undangan yang ditandatangani Seman Widjojo untuk dilantik pada tempat yang baru. Peristiwa itu, tak urung membuat sikap Inu Kencana terkesan tidak konsisten. Hal itu tampak ketika pada awalnya ia "tak berdaya", karena sebagai pegawai negeri sipil (PNS) harus terikat dengan "sumpah" bersedia ditempatkan di mana saja. Namun, pada waktu yang sama, ia akhirnya menyatakan menolak untuk dimutasi menjadi pejabat eselon III di lingkungan Depdagri. "Saya secara tegas menolak mutasi itu dan saya siap mundur sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena itu yang diinginkan IPDN maupun Depdagri," katanya saat dihubungi wartawan melalui telepon selulernya di Bandung, Kamis (8/5) sore. Menurut dia, sebagian orang pasti senang kalau dirinya mundur dari PNS, karena hal itu yang dimaui mereka supaya korupsi, perkeliruan, narkoba, kekerasan dan kasus seks bisa dengan leluasa dilakukan di kampus IPDN. "Selama saya berada di lingkungan IPDN, mereka sulit melakukan perkeliruan itu, oleh karenanya mereka menyingkirkan saya ke Depdagri," katanya. Sebagai bentuk kekecewaan atas perlakuan kepada dirinya itu, ia langsung pulang dulu ke rumah di Bandung untuk mengetik surat penolakan seperti yang mereka inginkan. Ia juga menilai mutasi itu sebagai proses pemecatan dirinya sebagai staf pengajar IPDN. Rencana pengunduran diri sebagai PNS itu, kata dia, terpaksa dilakukan ketimbang dengan terpaksa bekerja sebagai PNS di lingkungan Depdagri, dan ia merasa dibuang karena sebagai staf pengajar IPDN dirinya cukup vokal menyuarakan kebenaran yang tidak disukai oleh sebagian besar orang IPDN maupun Depdagri. Apa tanggapan Depdagri atas sangkaan Inu Kencana bahwa pemutasian itu bertujuan untuk memisahkan dirinya dengan praja (mahasiswa)-nya, dan juga upaya menyuarakan kebenaran atas yang disebut Inu "perkeliruan" di IPDN? Plt Rektor IPDN Johanis Kaloh ketika dikonfirmasi terkait mutasi Inu Kencana, menyebut hal itu sebagai kebijakan Mendagri. "Tenaga dan pikiran Inu Kencana sangat dibutuhkan Depdagri, sehingga Mendagri memutasi Inu untuk menduduki jabatan eselon III di Litbang Depdagri, bahkan yang bersangkutan sudah dilantik," katanya. Kaloh mengatakan, pemberitahuan mutasi itu sebenarnya sudah disampaikan Depdagri kepada Inu pada Rabu (7/5). "Inu dipindah ke bagian Litbang Depdagri, berita mutasinya Rabu sore. Ini dilakukan sebagai bagian dari pembinaan Inu, karena ada sesuatu yang harus dibina untuk kebaikan bersama," kata Kaloh. Menurut Kaloh, berdasarkan pernyataan Mendagri, Inu lebih pantas di Depdagri ketimbang di IPDN. "Bahkan Inu sudah disumpah di Depdagri, jadi tidak ada yang mendadak," kilah Plt Rektor IPDN itu. Senada dengan Johanis Kaloh, jurubicara Depdagri, Saut Situmorang menyatakan, pelantikan pejabat untuk penyegaran personil hal yang lumrah dilakukan dan tentu memperhitungkan kualifikasi dan kapasitas yang dimiliki personel. "Itu lazim dalam organisasi. Pemberitahuan untuk pelantikan yang mendadak juga lazim terjadi," katanya. Tepis kecurigaan Dalam amatan analis politik Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, kasus pemutasian Inu Kencana itu harus dibuka ke publik agar masyarakat mengetahui penyebabnya, termasuk menepis kecurigaan ada sesuatu yang tidak normal dalam peristiwa itu. "SK mutasi tersebut harus dibuka ke publik dan beri penjelasan kepada masyarakat," katanya. Argumentasi kuatnya, kata staf pengajar Fisip UI itu, karena IPDN merupakan lembaga publik yang menggunakan uang negara, sehingga pengelola wajib bersikap tranparan dan akuntabel kepada masyarakat. Menurut dia, tindakan untuk memutasi Inu Kencana merupakan tindakan yang refresif untuk menjauhkan dirinya dengan IPDN. "Jika tidak ada penjelasan, maka masyarakat akan curiga dan bertanya-tanya," katanya. Bagi Andrinof A. Chaniago --yang juga peneliti senior The Habibie Center-- mutasi yang dilakukan secara mendadak dan dikatakan sebagai pembinaan merupakan tindakan yang refresif. Seharusnya, kata dia, sebelum dimutasi Inu Kencana diberi penjelasan terlebih dahulu. "Kalau tiba-tiba begini dan dia sendiri tidak tahu kan bisa menjadi tanda tanya besar," katanya. Andrinof menyarankan kepada Inu Kencana untuk menggunakan prosedur-prosedur yang berlaku di internal di IPDN. "Gunakan sesuai prosedur administratif yang berlaku. Misalnya meminta penjelasan kepada Mendagri, Wakil Presiden dan Presiden. Jika tidak (melalui prosedur itu) maka bisa (juga) mengadu ke DPR," katanya. Inu Kencana sendiri, pada hari Jumat (9/5) telah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengaku surat itu langsung ditujukan kepada Presiden, karena hanya Presiden Yudhoyono-lah yang bisa kembali memutuskan dirinya untuk tetap bertugas sebagai staf pengajar di Kampus IPDN. "Isi surat itu tidak banyak, hanya berisi permohonan diri saya agar tetap ditugaskan di Jatinangor (kampus IPDN) untuk mengawal IPDN dari segala penyimpangan dan kekerasan yang dan terjadi kembali dikemudian hari," katanya. Namun, Inu Kencana siap dengan segala risikonya, yakni jika surat yang dikirimnya tidak mendapat jawaban positif sesuai dengan harapannya dari presiden, kemungkinan putusan berat yang harus diambilnya adalah mengundurkan diri sebagai PNS. Bagaimana babak akhir pemutasian Inu Kencana setelah mengirimkan surat ke presiden akan bermuara, agaknya publik mesti menunggu beberapa waktu untuk mengetahuinya. (*)

Oleh Oleh Andy Jauhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008