Surabaya (ANTARA News) - "Saya mungkin akan turun gunung, kalau mereka yang usianya kepala 4 dan 5 (maksudnya usia 40 atau 50 tahun lebih) nggak berani," kata tokoh reformasi, Amien Rais, di Surabaya, Kamis. Ketika membuka "kuliah Tjokroaminoto" di auditorium kampus C Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mantan Ketua MPR RI itu mengaku, dirinya tidak dapat menjawab "ya" atau "tidak", bila ada yang meminta dirinya maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. "Kalau yang muda nggak ada, maka saya kadang-kadang berminat lagi. Kalau yang muda nggak mungkin, maka pendekar tua mungkin akan turun gunung," katanya, sambil tersenyum dan disambut "applaus" ratusan mahasiswa, pemuda, dan dosen Unair Surabaya. Namun, kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, dirinya tidak mempunyai uang yang cukup untuk keliling Indonesia. "Itu karena saya hanya dosen biasa, saya nggak punya kocek Rp5 miliar atau Rp6 miliar untuk keliling negara kepulauan seperti Indonesia," katanya. Oleh karena itu, kata pengamat hubungan internasional UGM Yogyakarta itu, dirinya mengharapkan ada kalangan muda yang mampu dan dirinya akan memberi "support" (dukungan). "Jangan pakai istilah reformasi lagi, tapi kita harus kreatif. Kita dapat menggunakan Kebangkitan Nasional sebagai genderang untuk menyelamatkan Indonesia. Saya punya gagasan membentuk aliansi. Namanya AKSI atau Aliansi Kebangkitan dan Selamatkan Indonesia," katanya. Dalam kuliah perdana untuk kebangsaan dan demokrasi di Unair Surabaya itu, ia mengemukakan, Indonesia perlu pemimpin yang kuat dan berani. "Pemimpin yang kuat dan berani adalah pemimpin yang mampu melepaskan Indonesia dari penjajahan asing, baik ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Jangan pemimpin bermental `inlander` seperti sekarang," katanya menegaskan. Korupsi Negara Dalam kesempatan itu, Amien Rais memaparkan, korupsi paling berbahaya atau korupsi tingkat tinggi yang patut diwaspadai adalah korupsi negara, atau korupsi yang dilakukan negara. "Korupsi negara adalah pihak asing yang memegang tengkuk kalangan esekutif, yudikatif, dan legislatif untuk memenuhi keinginan pihak asing itu, sehingga negara dirugikan ribuan triliun," katanya. Motor penggerak reformasi 1998 itu menyatakan, bukti "korupsi negara" terlihat dari keluarnya Perpres 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing pada beberapa sektor di Indonesia. "Kepemilikan asing untuk beberapa sektor di Indonesia dapat mencapai 99 persen, misalnya, lahan pertanian di atas 25 hektar dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga 95 persen, pendidikan pun hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT," katanya. Oleh karena itu, lanjutnya, dirinya mendukung rencana mahasiswa UGM untuk menggugat Perpres 7/2007 terkait komersialisasi pendidikan yang mendorong biaya perguruan tinggi hingga di atas Rp100 juta dan kepemilikan asing atas dunia pendidikan hingga 49 persen. "Itu sudah keterlaluan, masak pendidikan yang merupakan hak eksklusif rakyat kok dijual juga. Karena itu, sudah saatnya Indonesia dipimpin pemimpin yang transformatif," katanya. Ia menambahkan, pemimpin yang transformatif adalah pemimpin yang berani, pemimpin yang paham Pancasila untuk merangkul semua elemen bangsa, pemimpin yang melindungi kekayaan alam untuk anak cucu dan bukan untuk orang asing, dan pemimpin mempriotaskan perekonomian pada ekonomi kerakyatan. "Jangan kita mau didikte asing, sehingga ketika Exxon merusak pun dikatakan ada kontrak yang harus dipatuhi. Padahal dalam pakta internasional itu, bila ada pelanggaran atas isi kontrak dapat saja dilakukan re-negosiasi," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008