Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Umum DPP Partai Damai Sejahtera Denny Tewu menyatakan, sikap partainya sebenarnya tidak pernah dan tak akan mencampuri urusan internal agama mana pun, khususnya Agama Islam. "Ini pernyataan resmi partai atau penjelasan kami untuk mengklarifikasi pernyataan salah satu anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) di DPR RI ibu Tiurlan Hutagaol mengenai penolakan SKB terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)," katanya kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat. Denny Tewu menyatakan, DPP PDS memohon maaf apabila ada pernyataan anggotanya yang menyebabkan ketersinggungan pihak lain. "Kiranya pernyataan ini dapat mengklarifikasikan hal itu dan untuk itu dihaturkan terimakasih atas pengertiannya, kiranya Tuhan tetap memberkati Bangsa Indonesia yang kita cintai ini," kata Denny Tewu. Dia menegaskan, DPP PDS hanya mengkritisi ketidakkonsistenan pemerintah terhadap sejumlah hal urgen serta kritis sesuai konstitusi negara ini. "Pertama, bagi kami, penerbitan SKB ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas sehingga nyata terlihat di lapangan adanya beda tafsiran antara Mahkamah Agung (MA) dengan Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya. Umat Kristiani juga jadi korban SKB Pendirian Tempat Beribadah Kondisi ini juga telah terjadi kepada Umat Kristiani yang menjadi korban akibat pernah dikeluarkan sebuah SKB oleh pemerintah tentang "pendirian tempat beribadah". "Banyak umat kami yang tak memahami lagi bagaimana harus mendirikan tempat beribadah karena SKB itu menganjurkan minta izin dulu kepada orang-orang di sekitarnya, bukan kepada pemerintah sebagai penjaga martabat kedaulatan bangsa serta pelindung rakyat yang beragam ini," katanya. Gereja dirusak, dihancurkan berdasarkan SKB dan Perber 2006 Akibat lebih lanjut lebih drastis dan ironis lagi. "Yakni muncul penafsiran beragam di lapangan, yang berdampak kepada ribuan tempat peribadatan (gereja) di berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa, yang dirusak dan dihancurkan, sementara kegiatan jemaatnya dibubarkan massa atas dasar SKB tersebut," katanya. Melihat pada kondisi itu, akhirnya pemerintah mengganti keberadaan SKB ini dengan Peraturan Bersama (Perber) Tahun 2006. "Sayangnya, Perber ini juga tidak memiliki dasar hukum jelas dan berdampak kepada dirusak serta ditutupnya tempat-tempat peribadatan oleh massa dengan cara anarkhis," kata Denny Tewu dengan menunjuk daftar panjang gereja yang ditutup paksa bukan oleh pemerintah, tetapi massa yang mengatasnamakan beberapa kelompok tertentu. Hamburkan izin kepada Sinode Aliran Gereja di Indonesia, Saksi Yehofah Hal kedua yang dikritisi DPP PDS, kata Denny Tewu, pemerintah dengan mudahnya memberikan keleluasaan atau menghamburkan izin bagi lebih dari 300 Sinode Aliran Gereja di Indonesia. "Bahkan hal itu juga diberikan lagi kepada kelompok tertentu seperti "Saksi Yehofah" yang ikut diberi keleluasaan kembali (setelah pada masa lalu dilarang), karena secara mayoritas, organisasi gereja di Indonesia bahkan di banyak negara lain, menolaknya," kata Denny. Cabut SKB, Perber 2006 berdasarkan Pancasila, UUD 1945 Karena itu, Denny Tewu melihat adanya ketidakkonsistenan pemerintah dalam menyikapi persoalan bangsa ini. "Lalu hal yang ketiga, menyangkut dasar hukum yang ada, mulai dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Kami meminta agar pemerintah arif dan tegas menerjemahkannya sehingga dapat tercipta keharmonisan dan kerukunan inter umat beragama dan antar umat beragama di Indonesia," katanya. Pemerintah mestinya jangan lagi melahirkan kebijakan atau produk hukum yang membingungkan sehingga terjadi multitafsir di masyarakat. "Sebab, pada realitasnya sekarang, hukum telah dipolitisasi untuk kepentingan sesaat bagi kelompok tertentu," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008