Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2007 kembali dalam posisi opini "disclaimer" (tidak menyatakan pendapat) dan hal itu terjadi sejak 2004 yang menandakan bahwa laporan keuangan pemerintah tidak ada kemajuan. Ketua BPK Anwar Nasution dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mendengarkan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2007, di Gedung DPD di Senayan Jakarta, Senin. Anwar mengatakan, sejak penyusunan LKPP dimulai tahun 2004, selama empat tahun berturut BPK memberikan "opini disclaimer" terhadap hasil pemeriksaan LKPP. Padahal, Indonesia telah empat tahun memberlakukan paket undang-undang keuangan negara tahun 2003-2004, delapan tahun pemberlakuan otonomi daerah yang luas dan 10 tahun gerakan reformasi. "Sukses-tidaknya reformasi sosial yang mengintrodusir demokrasi politik, otonomi daerah, dan globalisasi perekonomian nasional sangat ditentukan oleh penegakan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara," katanya. LKPP merupakan pertanggungjawaban Pemerintah Pusat atas pelaksanaan anggaran belanja negara sebagaimana diatur dalam paket undang-undang keuangan negara. Paket undang-undang dimaksud meliputi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam paket undang-undang ditetapkan berbagai ketentuan baru sekaligus penyempurnaan dan perubahan mendasar berbagai ketentuan dan tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Di samping menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan keuangan yang sehat di lingkungan pemerintahan, penyempurnaan dan perubahan mengantisipasi standar akuntansi pemerintahan yang berlaku internasional. Berbeda dengan tahun sebelumnya, hasil pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2007 juga disertai laporan keuangan kementerian/lembaga negara serta sekilas LKPD tahun 2006. Laporan keuangan yang mendapatkan opini "wajar tanpa pengecualian" (unqualified opinion) hanya kementerian/ lembaga negara berskala kecil dan/atau yang baru dibentuk. "Kesimpulan umum hasil pemeriksaan menggambarkan bahwa kualitas laporan kementerian/ lembaga negara dan daerah justru menunjukkan tendensi yang semakin memburuk dari tahun ke tahun," kata Anwar. Tak ada keterpaduan APBN dengan APBD Selain itu, hasil pemeriksaan BPK juga menyebutkan, hampir tidak berkaitan dan terpadu antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Pusat dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. "Sebagian masalah daerah terjadi karena keseringan Pemerintah Pusat menerbitkan peraturan yang saling bertentangan, sering berubah, dan multi-interpretasi," katanya. Pada tingkat kementerian/ lembaga negara di tingkat pusat, terdapat tiga kelemahan yang menonjol. Pertama, pendapatan negara dan hibah di luar APBN di 15 departemen/lembaga negara. Kedua, belanja negara di luar APBN di 16 departemen/lembaga negara. Ketiga, kekurangtertiban inventarisasi dan penilaian aset tetap di 58 departemen/lembaga negara. Hingga saat ini, menurut Anwar, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum memperbaiki sistem pengendalian internal sebagaimana diamanatkan Pasal 58 UU Perbendaharaan Negara. UU itu menuntut perubahan orientasi sistem pengendalian internal Pemerintah dari orientasi politik di masa lalu kepada pengawasan atas kebenaran laporan keuangan Pemerintah sehingga kegiatan organisasinya menjadi efisien, efektif, dan taat ketentuan hukum. Mengatasi berbagai kelemahan mendasar administrasi keuangan negara serta memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK telah dan akan mengambil kebijakan. Di antaranya, menyarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) atau Public Account Commitee untuk mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dan memantau pelaksanaan APBN dan APBD. "PAP sangat diperlukan dalam rangka pelaksanaan hak bujet dan fungsi pengawasan lembaga perwakilan agar lebih efektif dan efisien," katanya. Terkait LPP yang selama empat tahun terakhir dalam posisi "disclaimer", DPD sangat merisaukan opini "tidak menyatakan pendapat" (diclaimer) yang disampaikan BPK atas LKPP selama empat tahun berturut-turut (2004-2007) serta tendensi kualitas laporan kementerian/ lembaga negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang semakin memburuk dari tahun ke tahun. "Opini BPK sangat merisaukan. Mengapa yang terjadi justru penurunan kualitas laporan keuangan," katanya. Hasil pemeriksaan BPK yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa hampir belum terdapat kemajuan dalam peningkatan transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Mestinya, menurut Ginandjar, kualitas LKPP (termasuk laporan keuangan kementerian /lembaga negara) dan LKPD diperbaiki dari tahun ke tahun meskipun sedikit. Yang sangat memprihatinkan adalah kesimpulan umum hasil pemeriksaan yang menggambarkan tendensi kualitas laporan kementerian/ lembaga negara dan daerah yang semakin buruk dari tahun ke tahun. "Tentunya perhatian kita sebagai lembaga perwakilan untuk menindaklanjutinya," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008