Jakarta (ANTARA News) - Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Effendi Gazali, menyatakan putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terhadap Koran Tempo, merupakan tindakan yang salah besar. "Lebih baik hakimnya berhenti dan menjadi anggota dewan pers saja," katanya kepada ANTARA, di Jakarta, Kamis. Sebelumnya dilaporkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada hari Kamis( 3/7) memenangkan gugatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terhadap PT Tempo Inti Media Harian serta diharuskan membayarkan uang materiil sebesar Rp220 juta. Gugatan itu diajukan karena PT RAPP menilai Koran Tempo tidak memuat hak jawab dan hak koreksi secara proporsional, terkait pemberitaan "Pertikaian Menteri Kaban dengan Polisi Memanas" (6 Juli 2007), "Polisi Bidik Sukanto Tanoto" (12 Juli), dan "Kasus Pembalakan Liar di Riau: Lima Bupati Diduga Terlibat" (13 Juli 2007). Ia mengatakan Majelis Hakim tersebut tidak mengerti permasalahan pemberitaan atau dunia pers, kemudian dirinya memutuskan suatu perkara yang tidak diketahuinya itu dengan seleranya dirinya sendiri. "Seharusnya hakim PN Jaksel itu menanyakan kepada dewan pers mengenai pemberitaan Tempo itu, bukannya dengan keinginannya sendiri memutuskan perkara itu," katanya. Dikatakannya, di sejumlah negara maju juga jika menangani suatu perkara pemberitaan, maka pihak yang berkaitan terlebih dahulu menanyakan kepada dewan pers. Ia menyatakan putusan seperti itu menunjukkan semakin terpukulnya dunia jurnalistik di tanah air. "Kalau putusannya seperti itu, maka hakimnya lebih baik berhenti dan pindah profesi menjadi anggota dewan pers karena hakim "lebih tahu" dalam masalah pers," katanya. Sementara itu, Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, menyatakan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan merupakan "kuburan" bagi kemerdekaan pers, setelah Majelis Hakim mengabulkan gugatan PT RAPP terhadap koran Tempo. "PN Jaksel sebagai kuburan bagi kemerdekaan pers," katanya. Ia menyayangkan putusan Majelis Hakim itu yang banyak tidak mempertimbangkan soal kebebasan pers di tanah air, padahal koran Tempo sudah melaksanakan fungsi koreksi dan kontrol sosial dalam pemberitaannya. Ia menegaskan, putusan Majelis Hakim merupakan satu bukti bahwa kebebasan pers di tanah air terancam. "Kebebasan pers di tanah air terancam dengan adanya putusan itu," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008