Toyako, Hokkaido (ANTARA News) - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir mengikuti jalannya KTT G8 di Toyako, Hokkaido, mengemukakan penilaiannya bawah kegiatan KTT kali ini tidak memberikan hal baru dalam penyelesaian persoalan dunia yang terjadi saat ini. Demikian kesimpulan yang disampaikan LSM dari Indonesia (Sustainable Watch), Amerika Serikat (Friends of The Earth) dan WWF Internasional dalam keterangannya yang dibagikan kepada wartawan peliput KTT G8 di Toyako, Hokkaido, Rabu. "Apa yang dibicarakan dalam KTT G8 kali ini tidak ada hal yag baru. Semuanya masih sama dengan tahun sebelumnya yang berupa komitmen semata dan tidak ada bukti yang kuat bahwa mereka serius dalam mengatasi perubahan iklim, persoalan pangan dunia dan maslah energi," kata Koordinator Sustainability Watch Indonesia, Nur Amalia. Nur yang ditemui terpisah di acara sesi Major Economic Leaders Meeting mengatakan, saat ini negara berkembang masih menjadi korban dari negara maju yang justru semestinya memberikan bukti kongkrit seperti pengalihan teknologi dan peningkatan kapasitas dari negara berkembang dalam ikut mengatasi persoalan global. Ia kemudian mencontohkan masalah pangan yang sebetulnya membutuhkan sistem distribusi pangan dunia yang lebih adil bagi negara-negara miskin yang sedang mengalami kelaparan. Negara berkembang semestinya juga tidak begitu saja menerima saran yang dikemukakan negara maju dalam hal meningkatkan produksi pangannya tanpa melihat kondisi tanah tersebut di masa datang. Ia juga menyebutkan persoalan dari konsep tiga "R" yang didengung-dengungkan negara maju, yaitu "Reduce", "Recycle", dan "Reused" yang nyatanya malah menjadikan negara berkembang sebagai "tempat sampah" bagi barang-barang bekas yang tidak lagi diperlukan di negara maju. Hal senada juga disampaikan Direktur WWF International Kim Carstensen menilai, pertemuan yang membahas persoalan pengurangan emisi gas tidak mencapai kemajuan yang berarti. "Ketika sejumlah negara kaya kehilangan taktik mereka dan sepertinya lupa pada masyarakat serta lingkungan yang membutuhkan kepemimpinan mereka. Negara berkembang justru lebih memahami pentingnya hal itu dan memperlihatkan upaya yang serius dalam menangani perubahan iklim," katanya. Pertemuan Toyako dalam pandangannya hanya memberikan sedikit kemajuan, namun WWF meminta kepada negara berkembang untuk tetap memiliki semangat dan terus menjalankan pendekatan proaktif yang sudah dilakukan selama ini. Sementara koordinator Friends of The Earth, Karen Orenstein mengatakan, keputusan G8 untuk sepakat bahwa target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen dari kondisi sekarang hingga 2050 merupakan langkah mundur dari kesepakatan global yang dihasilkan dalam pertemuan di Bali Desember 2007. "Di Bali, hasil yang dicapai berlawanan dengan keinginan AS, Jepang dan Kanada, namun bisa tercapai konsensus yang mengharuskan negara industri maju mengurangi emisi gas kaca sebesar 25 - 40 persen dari tahun 1990 hingga tahun 2020 mendatang," katanya. Pernyataan negara-negara G8 mengindikasikan bahwa kelompok negara industri maju itu tidak melaksanakan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakan kerangka kerja negosiasi terkait perubahan iklim di bawah naungan PBB.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008