Samarinda (ANTARA News) - Manusia Tercepat Asia Tenggara, Suryo Agung Utomo (Jateng) mengaku final nomor 100 meter putra yang dilakoninya merupakan final yang sangat berat. "Tadi merupakan final yang sangat berat, tak mungkin melakukan pemecahan rekor dengan tiga kali pengulangan start. Ini sangat berat," kata Suryo Agung di seusai pengalungan medali emas lari 100 meter putra di Stadion Utama Palaran Samarinda, Sabtu. Pada final untuk menentukan sebagai "Manusia Tercepat di Indonesia" itu, Suryo Agung finish dengan catatan waktu 10,39. Meski tidak berhasil memecahkan rekornya sendiri 10,25 detik yang dicetak pada SEA Games 2007 di Thailand, namun ia mengaku puas dengan hasil yang diraihnya hari itu karena tidak merosot dari range pencapaian waktu larinya selama ini. Untuk sementara, Suryo juga menunda ambisinya untuk `meruntuhkan` rekor Nasional dan PON milik seniornya Mardi Lestari (Sumut) 10,20 detik. "Hasil ini sangat realistis bagi saya dalam final yang sangat berat ini, bayangkan pada start kedua saya sudah berlari 30 meter, dan itu sangat menguras kalori, yang lain juga merasakan kondisi sama," kata Suryo yang juga peraih medali emas nomor 200 meter itu. Suryo mengakui, dalam kondisi start normal yakni dilakukan sekali, kemungkinan ia bisa berlari lebih kencang sangat besar, namun dalam kondisi start berulang-ulang jelas kurang menguntungkan. Namun demikian, hasil yang diraihnya pada PON XVII/ 2008 sangat berarti untuk menjadi bahan evaluasi ke depan dalam rangka upaya mempertajam catatan waktunya pada nomor 100 meter. "Ini pencapaian maksimal saya di Samarinda dan itu sesuai dengan `range` catatan waktu saya selama ini," katanya. Dengan dua medali emas dan satu perak yang diraihnya, Suryo dipastikan bakal menerima bonus yang cukup besar. Namun pelari tercepat Indonesia terkini itu masih belum mempermasalahkan bonus. "Yang penting saya sudah menuntaskan tugas untuk kontingen, saya senang melakukannya," kata Suryo yang sore itu banyak mendapat ucapan selamat dari atlit dan official daerah lain.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008