Jakarta (ANTARA News) -- Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Erwin Aksa, meminta dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah melindungi sektor pertanian dan usaha kecil dan menengah (UKM) karena negara maju juga melakukan hal yang sama agar Indonesia bisa bersaing dengan mereka. "Negara berkembang seperti Indonesia, untuk sektor yang fundamental seperti pertanian dan UKM harus tetap ada perlindungan," kata Erwin di Jakarta, Senin, saat ditanya perundingan WTO yang alot. Pertemuan Terbatas Tingkat Menteri WTO di Jenewa yang seharusnya berlangsung 21-25 Juli 2008 namun molor hingga 30 Juli. Ia mengatakan, produk pertanian Indonesia bukannya tidak efisien namun negara maju tersebut juga memberikan perlindungan seperti melakukan dumping. Bahkan, negara-negara maju tersebut juga memberikan kredit impor. "Indonesia juga pernah (diberi kredit oleh negara maju)," katanya. Ia mengatakan, negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa lainnya juga melindungi petaninya. Oleh sebab itu, kata Erwin, jika pertanian dan UKM Indonesia tidak dilindungi maka akan kalah bersaing dengan negara maju. "Negara-negara maju itu hanya ingin mendistribusikan produk-produknya ke pasar yang besar," katanya. Ia mengatakan, setiap negara memberikan perlindungan atau subsidi kepada sektor pertanian, namun subsidi yang diberikan negara maju lebih besar dibanding di Indonesia. Erwin mengatakan, jika negara maju ingin memasarkan produknya di Indonesia maka sebaiknya mereka melakukan investasi di dalam negeri. "Supaya ada nilai tambah dan juga menyerap tenaga kerja," katanya. Sebelumnya, Dirjen WTO yang merupakan Ketua Trade Negotiations Committee (TNC), Pascal Lamy mengatakan, isu pembahasan Kelompok G6+1 (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Australia, Brazil, India dan China) tetap terpusat atau berkutat pada dua hal. Pertama, mengenai seberapa besar negara maju dapat mengurangi tingkat subsidinya dalam rangka meningkatkan akses pasar produk pertanian dunia. Kedua, mengenai peningkatan akses pasar bagi produk industri melalui pengurangan hambatan tarif. Sementara itu, Ketua Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF), Dr. Sutrisno Iwantono mengatakan, pertemuan Terbatas Tingkat Menteri WTO di Jenewa yang seharusnya berlangsung 21-25 Juli 2008 namun molor hingga 30 Juli, berlangsung mengecewakan dan bahkan merugikan kepentingan petani kecil Indonesia, sehingga pemerintah harus menolak kesepakatan WTO yang merugikan kepentingan nasional. "Saya berpendapat proses negosiasi kurang transparan terutama ketika dibentuk kelompok perunding dengan jumlah terbatas 7 negara (G7) yang hanya beranggotakan AS, Uni Eropa, India, Brazil, Jepang, Australia, dan China," katanya, Senin. "Indonesia dan negara sedang berkembang lain tidak termasuk (G7). Hal ini jelas-jelas Indonesia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan kepentingannya. Jika hanya mendengarkan pendapat 7 negara tersebut sebagai bahan untuk perundingan berikutnya tentu akan sangat kehilangan arah," katanya.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008