Jakarta (ANTARA) -
Ahmad, pria paruh baya yang mendedikasikan separuh usianya menjadi petugas makam, baru saja menggali lima liang lahat di ujung timur Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
 
Sore itu, jarum panjang jam belum menunjuk angka empat tanda waktu kerja berakhir, namun suasana TPU seluas 70 hektare yang menampung tidak kurang dari 65 ribu jasad sejak 1985 itu terasa sepi.

Hanya beberapa pelayat dan petugas siram tanaman yang lalu-lalang di lintasan setapak zona pemakaman.
 
Retakan undukan tanah semakin luas ke setiap zona pemakaman yang terbagi atas kapling muslim dan non muslim. Retakan itu imbas kemarau panjang di wilayah setempat. Tidak terkecuali zona tunawan, pusara akhir bagi ratusan jasad tanpa identitas bersemayam.

Ahmad sedang bersiap menyambut kedatangan jenazah tanpa identitas dari salah satu rumah sakit di Jakarta. Lubang berdimensi 1x2 meter dengan kedalaman 1,2 hingga 1,5 meter telah siap menampung jasad untuk prosesi penguburan esok hari.
 
Kuburan di sekelilingnya pun tidak tampak sisa taburan bunga tanda pelayat hadir memberi doa.
 
"Makam-makam di sini memang dikhususkan untuk mayat yang dikuburkan tanpa identitas. Tidak diketahui keluarganya," kata Ahmad.
 
Pemakaman tunawan tampak berbeda dengan kuburan pada umumnya. Batu nisan diganti papan kayu yang mayoritas mencantumkan tulisan "Mr X". Jarak antarmakam pun tampak lebih rapat.
 
Sebagian undukan tanah kuburan telah rata dengan tanah kering, bahkan sebagian ambles dan dikelilingi ilalang.
 
Kepala Satuan Pelaksana TPU Pondok Ranggon, Marton Sinaga menyebutkan ratusan jenazah tunawan berasal dari berbagai rumah sakit di Jakarta. Di antaranya Rumah Sakit Cipto 
Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Polri Kramat Jati.
 
"Rata-rata jasad tanpa identitas ini adalah pasien yang sakit, korban kejahatan, pelaku kriminal, hingga korban kecelakaan yang tidak diketahui siapa ahli warisnya," katanya.
 
Dari total 450 jasad yang terkubur sejak 2013, hanya berkisar 1 persen di antaranya yang sudah dikenali dan didatangi sanak keluarga. Bahkan sebagian sudah dipindah keluar dari TPU Pondok Ranggon.
 
Kolega maupun ahli waris harus menunggu tiga tahun lamanya sebelum jasad dipindah. "Harus menunggu pembusukan jasad dulu baru bisa digali dan dipindah jasadnya," kata Marton.

Baca juga: Tren makam tumpang di Jakarta meningkat
Baca juga: Di 16 TPU Jakarta ini tak boleh bikin petak makam baru

 
Proses Pemakaman
Proses pemakaman "Mr X" dilakukan sebagaimana pada umumnya. Untuk jenazah yang diketahui agamanya, maka dimakamkan sesuai dengan agama yang dianut.
 
Hanya sekali lantunan doa yang dipanjatkan petugas gali kubur usai jasad ditimbun dengan tanah. Selebihnya, tidak ada satu pun peziarah yang berkunjung memberi doa secara langsung di kuburan.
 
"Biasanya kita lihat kondisi dari rumah sakit, kalau dari RS dikafankan ya kita makamkan secara Islam, kita azanin," katanya.

Kalau dari RS dipetikan biasanya Nasrani. "Ya kita makamkan sesuaikan. Semua proses pemakaman oleh petugas kita," ujar Marton.
 
Walaupun jenazah dimakamkan dengan status tanpa identitas. Terdapat pula jenazah yang pada akhirnya diketahui oleh pihak keluarganya.

"Sehingga papan nisan pada makam langsung diberi identitas," katanya.

Baca juga: Lebaran kedua, makam di Jakarta masih dikunjungi peziarah
 
Tragedi 98
Berjarak sekitar 200 meter menuju arah barat dari zona Tunawan TPU Pondok Ranggon, terhampar lahan seluas 120 meter persegi (m2) kuburan bagi 113 jasad tanpa identitas korban kerusuhan Mei 1998.

Di area ini ada Prasasti Tragedi Mei 1998 yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan berziarah pada area makam korban Tragedi Mei 1998. Kegiatan ini terdiri atas pembuatan plasa untuk acara seremonial dan pembuatan jalan beton dengan finishing floor hardener.
 
Sebuah monumen tangan yang dibalut kain dengan jarum jahit berkelir hitam berdiri kokoh di tengah hamparan batu nisan para korban.
 
Mereka adalah jasad korban yang terbakar di Mal Borobudur Klender saat kerusuhan terjadi. "Jasadnya tidak bisa dikenal karena gosong," kata Marton.
 
Bila dilihat dari jarak dekat, terdapat batu nisan bertulis "Korban Tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta" tanpa nama maupun identitas lainnya. Yang pasti, mereka menjadi korban kerusuhan 1998.
 
Lahan di Blok AA1 Blok 27 menjadi zona pemakaman massal yang rutin diziarahi komunitas aktivis saat peringatan peristiwa berlangsung setahun sekali maupun sejumlah sanak keluarga korban yang sengaja berziarah memberi doa.
 
"Yang berbeda, kalau makam tunawan sepi peziarah, kalau makam tragedi '98 masih suka ada yang berziarah dan mendoakan," katanya.
 
Jasad "Mr X" maupun korban kerusuhan '98 sebenarnya tidak memiliki kelengkapan izin memanfaatkan lahan TPU. Alasannya, dokumen ahli waris sebagai syarat mutlak mengubur jasad di TPU wilayah Jakarta, otomatis tidak bisa terpenuhi.
 
Seluruh biaya pemakaman, kata Marton, ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk biaya sewa lahan makam.
Pengelola pun memberi dispensasi untuk memakamkan jasad "Mr X" di TPU.
 
Dari data Pelayanan Pemulasaraan Jenazah Tunawan yang dimiliki Pemda DKI, terungkap rata-rata setiap bulan ditemukan 210 mayat tanpa identitas di wilayah Jakarta. RSCM menjadi "penyumbang" jasad "Mr X" terbanyak di TPU Pondok Ranggon.
 
Kehadiran Pemprov DKI Jakarta dalam mengurus pemakaman "Mr X" tampaknya patut diapresiasi.

Ahmad maupun Marton memberi sumbangsih di tengah setumpuk persoalan tunawan di Jakarta. "Mr X" juga butuh pemakaman layak seperti manusia pada umumnya.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019