Pekanbaru (ANTARA News) - Jajaran manajemen PT Riau Airlines (RAL) mengungkapkan, adanya dugaan penggelembungan dana (mark up) dalam pembelian tiga pesawat pada tahun 2007. Manager Budgeting and Planning PT RAL Losa Priyamah di Pekanbaru, Senin mengungkapkan, dugaan mark up diduga terjadi pada pembelian tiga pesawat jenis Fokker senilai Rp82,1 miliar. Jumlah biaya tersebut dinilai terlalu besar untuk pembelian pesawat bekas untuk menambah armada maskapai penerbangan yang saham mayoritasnya dimiliki Pemprov Riau itu. "Padahal berdasarkan perhitungan dari akuntan independen sebelum akhirnya pesawat itu dibeli, harga tiga pesawat itu hanya sekitar Rp76 miliar," kata Losa. Hal tersebut diakui makin memperburuk kondisi PT RAL yang sejak 28 Juli lalu seluruh armadanya dilarang terbang setelah Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan membekukan izin operasional (Air Operator Certificate/AOC) PT RAL, karena permasalahan manajemen yang dinilai akan memengaruhi keselamatan penerbangan. "Konflik di dalam manajemen yang akhirnya mengakibatkan pembekuan AOC PT RAL hanyalah pucuk dari gunung es," ujarnya. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun ANTARA, tiga pesawat tersebut dibeli PT RAL untuk menambah dua pesawat sewa yang telah ada. Tiga Fokker tersebut merupakan pesawat bekas PT Transwisawata (TWA) milik Tomy Winata, sebelum akhirnya dibeli PT RAL seharga Rp82,1 miliar. Dana pembelian juga berasal dari pinjaman Bank Muamalat sebesar Rp60 miliar. Namun setelah dibeli, ternyata satu pesawat hanya sebentar bisa digunakan karena akhirnya rusak dan kini "parkir" di salah satu hanggar TNI AU di Pekanbaru. Manajer Teknik PT RAL Muhammad Amin mengatakan, pesawat tersebut dibeli dalam kondisi apa adanya (as is where is) dan harga yang dibayar dinilai terlalu mahal karena kelayakan terbang (air worthy) diragukan. Menurut Amin, dirinya dan sejumlah manajer PT RAL sempat mengajukan protes mengenai hal tersebut dan meminta Direktur Utama PT RAL Heru Nurhayadi memperbaiki klausul kontrak pembelian. "Dalam perhitungan kami, pesawat itu diestimasikan paling mahal Rp78 miliar dengan sudah memenuhi air worty. Tapi ternyata, tim kami tidak diikutkan dalam proses pembelian dan pesawat akhirnya dibeli seharga Rp82,1 miliar dengan perbaikan klausul pesawat hanya servicable atau dalam waktu tertentu mesti dicek kelayakannya," ujar Amin. Ia juga mengakui bahwa satu pesawat kini tidak bisa digunakan dan disimpan di dalam hanggar TNI AU. "Bukan disembunyikan, tapi karena sparepart kurang dan pesawat itu masih dicoba untuk diperbaiki di hanggar TNI AU," katanya. Kuasa hukum PT RAL Kapitra Ampera SH menambahkan, pihak pegawai PT RAL berencana untuk membongkar seluruh kebobrikan maskapai tersebut dan meminta agar segera dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau. Ia juga mengatakan, segera mengirimkan bukti tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ia menilai maskapai tersebut sudah tidak sehat akibat adanya pembusukan dari dalam. Selain itu, ia juga mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp40 miliar dari APBD Riau yang diterima PT RAL tahun 2007. Dana tersebut dikatakan untuk pembenahan maskapai tersebut agar kategori PT RAL naik menjadi kategori I, namun penggunaanya tidak jelas. Bahkan, kategori PT RAL kini hampir jatuh ke kategori III berdasarkan penilaian Departemen Perhubungan pada 23 Juli lalu. Karena itu, ia menilai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa yang akan digelar Selasa besok (5/8), tidak akan menyelesaikan masalah apabila pemegang saham dan dewan komisaris PT RAL tetap mempertahankan jabatan Direktur Utama PT RAL Heru Nurhayadi. "RAL ibarat lumbung korupsi, dan kalau ditelusuri lebih dalam lagi akan banyak kebobrokan yang belum terungkap," katanya. Sayangnya Dirut PT RAL Heru Nurhayadi tidak bisa dimintai konfirmasi terkait pengungkapan tersebut dan telepon selularnya sulit untuk dihubungi. Sedangkan Anggota Dewan Komisaris PT RAL Asparaini Rasyad mengatakan, pembelian pesawat tersebut sudah melalui persetujuan pemegang saham lewat RUPS. "Bermasalah atau tidak saya tidak tahu karena pembelian adalah urusan direktur dan pemegang saham. Dalam situasi seperti ini semua orang bisa saja omong macam-macam, tapi kebenarannya kan kita tidak tahu," kata Asparaini.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008