Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi langkah pencekalan 14 direksi perusahaan pertambangan yang menunggak pembayaran royati batubara. "Langkah pencekalan itu kami apresiasi. Tetapi untuk selanjutnya juga harus diamati apakah langkah pencekalan itu benar-benar serius dijalankan dan bagaimana ketegasan pemerintah dalam penyelesaiannya," kata Firdaus kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Mengenai siapa pihak yang bersalah dalam hal penunggakan royalti batubara dari sejumlah perusahaan pertambangan sehingga terbit pencekalan tersebut, Firdaus mengemukakan, baik pemerintah maupun perusahaan memiliki tingkat kesalahannya masing-masing. Menurut dia, perusahaan pertambangan jelas-jelas bersalah karena menunggak royalti batubara, sedangkan pemerintah bersalah antara lain karena lalai dalam melakukan pengawasan terhadap pembayaran royalti. Firdaus memaparkan, sektor pertambangan batubara seharusnya benar-benar dikelola dengan baik dan profesional karena menyangkut berbagai sektor vital lainnya seperti masalah kelistrikan di Indonesia yang sebagian besar masih bergantung kepada pasokan batubara. Sebelumnya, Ditjen Imigrasi Departemen Hukum dan HAM mengumumkan pencekalan ke luar negeri terhadap 14 pimpinan perusahaan batubara selama enam bulan terhitung mulai 1 Agustus 2008 sampai 27 Januari 2009. Ke-14 pimpinan perusahaan adalah Edwin Soerjadjaja dari PT Adaro Indonesia dan Ari Saptari Hudaya, Kenneth Patrick Farrel, Abdullah Popo Parulian, Nalinkant Amratlal Rathod, dan Hanibal S Anwar dari PT Kaltim Prima Coal. Selanjutnya, Kazuya Tanaka, Endang Ruchiyat, Ferry Purbaya Wahyu, Edi Junianto Soebari, dan Roslan Perkasa Roslani dari PT Arutmin Indonesia, Jeffrey Mulyono dari PT Berau Coal, Mualin Tantomo dari PT Libra Utama Intiwood, dan Hendra Tjoa dari PT Citra Dwipa Finance. Perusahaan tambang tersebut menunggak royalti dikarenakan pemerintah juga belum membayarkan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) penjualan batubara.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008