Jakarta (ANTARA News) - Tim Pengacara Muslim (TPM), sebagai kuasa hukum terpidana mati Amrozi dkk, meminta agar pelaksanaan eksekusi mati terhadap mereka dilakukan sampai ada putusan uji materi UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi. "MK punya kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan," kata koordinator TPM, Mahendradatta, dalam sidang perdana pengujian UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi yang diajukan Amrozi dkk, di Gedung MK, Jakarta, Kamis. Menurut Mahendradatta, kedudukan hukum (legal standing) pemohon harus dijaga, karena orang yang bisa mengajukan adalah terpidana mati. Kemudian, kata dia, bagaimana kedudukan hukum pemohon bisa diijaga, jika si pemohonnnya pemohonnnya akan dieksekusi mati. "Apakah orang meninggal masih bisa menguji, ini inskonstitusional," katanya. TPM akan menambahkan "provisi" (permohonan penundaan) dalam surat permohonan uji materi UU tersebut. Menanggapi permohonan TPM, pimpinan majelis hakim konstitusi, Maruarar Siahaan, menyatakan apa yang diminta itu akan ditampung. "Ini akan ditampung dalam rapat pleno," katanya. UU produk DPRGR Sebelumnya dilaporkan, anggota TPM, Adnan Wirawan, menyatakan pengajuan uji materi itu oleh Amrozi dkk melalui TPM dilakukan karena dianggap UU tersebut telah melanggar Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945. "UU Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi tidak bisa dijadikan sebagai dasar eksekusi, karena pembuatannya melalui DPR Gotong Royong (DPRGR). Kemudian keberadaan DPRGR sendiri bukan melalui pemilihan, melainkan penunjukan presiden," katanya. Dari pembentukan UU itu sendiri, kata dia, sudah menyalahi prosedur. Demikian pula dengan substansinya yang melanggar Pasal 28i ayat (1) UUD 1945. Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah, hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". "Cara ditembak mati itu penyiksaan, hingga tidak perlu lagi ada UU itu," katanya. UU itu juga menyebutkan penjelasan mengenai eksekusi menembak ke arah jantung, namun jika tidak mati, maka ditembak ke bagian pelipisnya. "Artinya hukum itu tidak manusiawi dan bertentangan dengan Pasal 28i ayat (1) UUD 1945, yang lebih manusiawi seperti disuntik mati," katanya. Oleh karena itu, ia berharap agar pelaksanaan hukuman mati ditunda sampai ada putusan dari MK mengenai uji materi UU Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi. Ia menambahkan jika kejaksaan tetap nekad melakukan eksekusi, maka dapat dikatakan secara teknis tidak menjadi masalah. "Namun secara legitimasi sudah menyalahi aturan," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008