Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi kerakyatan Sri Edi Swasono mengatakan, banyak ketentuan perundangan seperti di bidang migas, pelayaran maupun perbankan tidak lagi sesuai dengan jiwa gotong royong perekonomian seperti tercantum dalam pasal 33 UUD 1945. Sri Edi Swasono dalam seminar "Mewaspadai Ancaman Asing Terhadap Kedaulatan Ekonomi Sektor Strategis" di Jakarta, Kamis mengatakan, lahirnya kebijakan yang tidak pro rakyat itu antara lain karena para anggota DPR kurang menyuarakan kepentingan rakyat, tapi kepentingan partainya masing-masing. "Jadi sah-sah saja jika ada desakan mengundurkan Gus Dur, Habibie, sekarang kita mendesak supaya DPR juga dibubarkan," katanya. Sri Edi Swasono menilai keroposnya kedaulatan ekonomi sektor strategis diawali sikap wakil rakyat di DPR yang kurang menyuarakan kedaulatan rakyat, tapi jadi pintu masuk kepentingan penguasaan ekonomi global. Oleh sebab itu, katanya, kebijakan menjual BUMN strategis, selain merupakan kesalahan pemerintah karena hanya pelaksana Undang-Undang, tapi juga merupakan kesalahan anggota DPR yang mengagendakan privatisasi sektor strategis. Hadir sejumlah pembicara lain pada acara itu, seperti Agus Mulya (Direktur Indo Solution), Sebastian Salang (Sekjen Forum Masyarakat Pengamat Parlemen Indonesia/Formappi) dan Adhie M Massardi (Komisi Penyelamat Kekayaan Negara-KPKN). Sementara Agus Mulya menyoroti keluarnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang menghapuskan monopoli pengelolaan pelabuhan komersial oleh BUMN pelabuhan. Indonesia, katanya, memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, tapi menjadi rapuh dengan pengelolaan pelabuhan yang sifatnya liberal. Padahal, garis pantai dan pelabuhan berfungsi menjadi penjaga kedaulatan karena sebagai alat pengukur masuknya berbagai produk barang dan jasa yang mesti dilakukan pihak berwenang dalam pengelolaan ekonomi. Sedangkan, Adhie M Massardi menilai penyerobotan terhadap aset-aset strategis merupakan bagian dari skenario global. Dia juga menilai penyerobotan sektor-sektor strategis oleh pihak asing sering dilakukan dengan cara-cara "preman" sampai opini yang pada akhirnya dieksekusi melalui mekanisme pembuatan Undang-undang oleh parlemen. "Ini memang berbahaya segala sesuatu dilegalkan lewat parlemen termasuk menjual berbagai kekayaan alam negara," katanya. Sementara itu keterangan tertulis seminar menyebutkan, kesepakatan WTO menekankan untuk membuka pangsa pasar bagi ekspansi ekonomi dan industri antar negara di dunia. Paradigma ini mendorong para pemilik modal (kaum kapitalis) melakukan investasi ke negara-negara lain, terutama di negara-negara berkembang yang masih memiliki potensi sumber daya untuk dieksploitasi atau dijadikan sebagai pangsa pasar. Namun regulasi yang berlaku di negara-negara tersebut dirasakan oleh para pemilik modal belum mendukung terhadap pelaksanaan "Foreign Direct Investment" (FDI). Mereka menuntut agar seluruh negara-negara anggota WTO tersebut melaksanakan kesepakatan internasional globalisasi melalui revisi terhadap regulasi yang berlaku dalam rangka menciptakan iklim usaha yang dapat memperlancar masuknya investasi asing di sebuah negara. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota WTO dan telah sepakat dengan globalisasi tersebut, langsung merespon dengan langkah-langkah sesuai dengan tuntutan dunia internasional. Para investor asing mengharapkan pemerintah Indonesia dapat merevisi regulasi yang mereka rasakan masih melindungi sektor-sektor usaha tertentu dari masuknya investasi asing.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008