Moskwa (ANTARA News) - Penyelidik Rusia membuktikan bahwa pasukan Georgia melakukan pembantaian dalam serangan mereka ke daerah pemberontak Ossetia Selatan pada bulan ini, kata pejabat tertinggi Rusia dalam wawancara terbitan Selasa. "Sepenuhnya jelas bahwa antara 7 hingga 12 Agustus, angkatan perang Georgia menyerbu wilayah republik tak terakui itu untuk sepenuhnya membinasakan kelompok etnik Ossetia, yang tinggal di Ossetia Selatan," kata ketua panitia penyelidik Alexander Bastrykin kepada suratkabar negara "Rossiiskaya Gazeta". "Mereka tak menyisakan seorang pun. Kami menemukan seorang wanita dibunuh dengan tembakan di kepalanya. Ia hamil delapan bulan. Anaknya, yang belum lahir, tewas juga," tambahnya. Bastrykin meringkas hasil penyelidikan atas serangan Georgia terhadap daerah kantong pemberontak dukungan Moskwa itu, yang memicu Rusia mengirimkan tentara dan persenjataan ke tetangga selatannya tersebut. Bastrykin tidak mengatakan jumlah penduduk Ossetian Selatan tewas, tapi jaksa kawakan setempat pada pekan lalu menyatakan 133 penduduk dipastikan tewas di Ossetia Selatan dan jumlah itu dapat bertambah. Pejabat Rusia sebelumnya mendukung tuduhan pembantaian dengan menyatakan sekitar 2.000 dari 70.000 penduduk Ossetia Selatan dibunuh. Baik Rusia maupun Georgia saling tuduh melakukan pembersihan suku dan kejahatan perang dalam sengketa itu, dengan tentara Rusia menyebut kelompok kecil tentara Georgia dilatih Amerika Serikat berada di pedalaman negara Kaukasus tersebut. Sejumlah 211 penyelidik menyusun lebih dari 100 jilid bukti kekejaman Georgia dan menanyai 3.915 orang, kata Bastrykin, dengan menambahkan bahwa seluruh kesaksian mereka memperkuat bukti pembantaian. Majelis tinggi parlemen Rusia memutuskan dengan suara bulat mengakui wilayah pemberontak Georgia di Ossetia Selatan dan Abkhazia pada Senin. Setelah pertemuan darurat, anggota parlemen itu mengeluarkan pernyataan kepada Presiden Dmitry Medvedev, yang menyeru dia mengakui dua propinsi secara kesukuan berbeda dengan Georgia tersebut. Pernyataan itu mengatakan bahwa penolakan Georgia menandatangani perjanjian tidak menggunakan kekerasan dan tindakan ganas pada awal Agustus mengakibatkan ribuan penduduk tewas di Ossetia Selatan, yang memicu sengketa Georgia-Abkhazia, dan secara pasti mencabut hak Georgia meminta rakyat Ossetia Selatan dan Abkhazia tergantung pada kebijakan petualangannya. Kremlin akan memutuskan mengakui atau tidak kemerdekaan kedua propinsi itu. Kedua wilayah itu memisahkan diri dari kekuasaan pusat Georgia dalam perang pada awal 1990-an, setelah Uni Sovyet ambruk, namun kemerdekaan diproklamasikan kedua wilayah tersebut tak diakui antarbangsa. Pada awal Agustus, Medvedev meragukan apakah Abkhazia dan Ossetia Selatan dapat tetap berada di dalam republik Georgia setelah bentrok baru-baru ini di Ossetia Selatan. Ia menyatakan Rusia akan menghormati setiap keputusan mengenai kedudukan kedua wilayah itu, yang mencerminkan keinginan mereka dan akan menjamin pelaksanaannya. Presiden Amerika Serikat George Bush pada Senin mendesak Rusia tidak mengakui wilayah pemberontak Georgia, Ossetia Selatan dan Abkhazia, sebagai negara merdeka. Pemerintah pendukung Barat di Georgia menjadi salah satu sekutu kuat Amerika Serikat. Sebelumnya, Jerman menolak usul penasehat hukum Rusia untuk mengakui kemerdekaan dua wilayah berontak di Georgia itu serta menyatakan Moskwa hendaknya mengabaikan jajak pendapat itu, demikian AFP.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008