Jakarta (ANTARA News) - Panitia Angket Kenaikan Harga BBM DPR, Rabu, memanggil ahli perminyakan Dr Kurtubi untuk dimintai keterangan dalam kapasitas sebagai saksi ahli, guna melengkapi bukti-bukti mengenai dugaan ketidakberesan dalam manajemen pengelolaan minyak nasional. Sebelum memberi keterangan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kurtubi diambil sumpah terlebih dahulu dan keterangannya diberkas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pengambilan sumpah dilakukan Ketua Panitia Angket Kenaikan harga BBM ,Zulkifli Hasan di hadapan peserta rapat panitia angket. Pengambilan sumpah dilakukan secara terbuka untuk umum, namun ketika rapat memasuki substansi yang akan menjadi bagian dari BAP, rapat kemudian dilakukan secara tertutup. Bersama dengan Kurtubi, ahli perminyakan Wahyudin Yudiana juga diambil sumpahnya untuk selanjutnya diminta keterangan secara bersamaan. Pemeriksaan dan permintaan keterangan terhadap Kurtubi dan Wahyudin ini sebagai bagian dari tindaklanjuti Panitia Angket Kenaikan Harga BBM setelah pekan lalu bertemu dengan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK telah menemukan adanya penghitungan "cost recovery" pada kontrak karya pertambangan yang tidak akurat. Fokus audit BPK meliputi dua hal, yaitu pemeriksaan pelaksanaan KKS/PSC (hulu) dan pemeriksaan subsidi BBM (hilir). Pemeriksaan hulu menyangkut produksi ("lifting") serta "cost recoverable" ("cost recovery" dan insentif). Selain penghitungan "cost recovery" yang tidak akurat, dalam audit BPK juga ditemukan biaya yang tidak dapat diperhitungkan sebagai "cost recovery" (tidak ada persetujuan terlebih dahulu, tidak relevan serta ketidakpatutan) dan transaksi afiliasi. BPK juga menemukan identifikasi kelemahan klausul kontrak kerjasama (KKS) dan pelaksanaan KKS. Mengenai kelemahan klausul kontrak, meliputi klausul yang longgar tentang biaya operasi, klausul "punishment" (sanksi) belum diatur (jika terbukti ada pembebanan biaya yang tidak relevan, baik dalam "operating cost"/biaya operasi maupun dalam "capital cost"/biaya modal). Hal ini penting karena perhitungan "cost recovery" dilakukan secara "self assesment" (dilakukan sendiri). Terkait hasil pemeriksaan terhadap subsidi BBM, BPK menjelaskan bahwa sejak tahun 2006 subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) per liter adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih antara harga jual eceran per liter dengan pajak-pajak dan harga patokan/liter JBT. Rekapitulasi koreksi subsidi JBT oleh BPK untuk tahun 2006 sebesar Rp1,1 triliun lebih dan tahun 2007 sebesar Rp6,6 triliun lebih. Penyebab adanya koreksi subsidi JBT oleh BPK adalah adanya kesalahan perhitungan harga patokan untuk perhitungan subsidi (koreksi harga patokan), adanya ketidaktepatan pengenaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) dalam penyaluran JBT (koreksi harga eceran). Selain itu, adanya penyaluran JBT yang tidak tepat sasaran (koreksi volume JBT). (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008