Semarang (ANTARA News) - Jumlah pemilih yang tidak akan menggunakan hak suaranya atau dikenal dengan istilah golongan putih (golput) untuk Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 akan tetap tinggi. Menurut Drs. Teguh Yuono, M.pol.admin., seorang pengamat politik dari Univesitas Diponegoro (UNDIP) Semarang di Semarang, Sabtu, tingginya golput dapat disebabkan beberapa faktor teknis dan nonteknis, seperti yang terjadi dalam pilkada di beberapa daerah di Indonesia. Hasil Pilkada menunjukkan rata-rata tingkat golput selama pelaksanaan pilkada, khususnya di Pulau Jawa mencapai angka 27,9 persen hingga 40 persen bahkan ada yang lebih tinggi lagi. Masalah teknis yang paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. Dengan DP4 selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data untuk menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Namun banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid, katanya. Sementara faktor nonteknisnya adalah timbulnya kejenuhan politik dan keengganan politik yang menyebabkan masyarakat tidak mau lagi hadir untuk memberikan suaranya dalam pemilu. "Masyarakat sudah bosan dengan kondisi yang tidak berubah. Setiap menjelang pemilu selalu ada harapan dari janji-janji politisi namun semua itu tidak pernah terealisasi," katanya. Kondisi yang demikian itu menyebabkan adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menjadi golput, dan sekaligus sebagai bentuk protes dari pemilu ke pemilu sudah tinggi. Warga menilai siapa pun yang menang tidak bisa mengubah kehidupan rakyat. Kondisi ini terjadi karena hasil pemilu dan kegiatan politik lainnya dirasakan semakin jauh dari harapan rakyat malah justru menyengsarakan. Sementara itu, kata Teguh, kehadiran figur baru politik juga tidak menjamin meningkatnya kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap politik dan pemilu. Soalnya, Kejenuhan yang lain teletak pada sistem pemilu yang amburadul, rakyat jadi masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu. Masyarakat lebih memilih untuk menjalankan aktivitas sehari-harinya daripada datang ke TPS, karena itu tidak akan memberi perbaikan hidup dan hanya membuang-buang waktu. "Pemikiran itu harus diubah karena membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia. Nah untuk itu tugas berat bagi pemerintah adalah bagaimana mengubah persepsi negatif terhadap pemilu dan harus bisa meyakinkan kembali masyarakat hanya dengan pemilu perubahan dapat dicapai," tegasnya. Untuk menekan tingginya angka golput, semua pihak, baik pemerintah, KPU, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat sipil, harus bekerja keras. Angka golput, menurut Teguh pada pemilu 2009 akan tetap tinggi. Namun hal itu dapat dicegah kalau KPU cepat sadar dan segera membenahi sistem pendataan pemilih dan mengintensifkan sosialisasi. KPU harus mensosialisasikan tata cara pemilu dan memastikan bahwa semua data pemilih sudah terdaftar dan valid. Karena itu, KPU jangan lagi menggunakan sistem daftar pemilih aktif. Sebab, di tengah situasi rakyat yang mengalami kejenuhan politik, sistem seperti itu tidak berjalan. Petugas KPU harus aktif mendatangi masyarakat, kapan dan dimana pun mereka berada. Selain itu, dharapkan adanya dukungan dari partai politik sendiri menyadarkan pendukungnya untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih dan ikut serta dalam pemilu.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008