Jakarta (ANTARA News) - Bangsa Indonesia harus bersyukur karena memiliki sistem demokrasi yang menepis rasa curiga di antara sesama dan mekanisme pengambilan keputusan secara jelas, kata Dr Henry Subiakto, dosen pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. "Dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia, misalnya ada kejelasan tentang peralihan kekuasaan karena ada undang-undang yang telah mengaturnya dan warga masyarakat tak menaruh curiga satu dengan yang lain," kata Dr Henry Subiakto di Jakarta, Senin, setelah selama tiga hari berkunjung ke Myanmar bersama tiga wartawan Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya atas undangan Sekretariat ASEAN. Kunjungan itu terkait dengan 100 hari pembentukan Kelompok Inti Tripartit (TCG) untuk membantu pemulihan setelah Topan Nargis yang melanda kawasan Delta Irrawaddy pada awal Mei lalu. Topan Nargis menewaskan lebih 100.000 orang dan ratusan orang lainnya hilang, serta merusak berbagai fasilitas umum/sosial dan tempat-tempat peribadatan penduduk yang sebagian besar memeluk agama Budha. Lebih jauh Henry mengatakan, para pemeluk agama juga dapat menjalankan ibadah dan tak terhambat karena ada toleransi di alam demokrasi. Menurut dia, pada bulan Ramadan misalnya umat Islam di Indonesia dapat berpuasa dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya seperti i`tikaf di masjid tanpa rasa takut dilarang oleh pihak keamanan. "Lain lagi di Yangon (ibukota Myanmar) ketika saya berbicang-bincang dengan beberapa pemeluk Islam di sana saat berbuka puasa di sebuah masjid. Mereka memang menjalankan ibadah puasa tapi harus meminta izin atau melapor terlebih dahulu untuk i`tifkaf ke pihak keamanan. Kehidupan beragama jadi terhambat," katanya. Pada saat malam tiba, katanya, tempat-tempat hiburan seperti karaoke dan diskotik tetap beroperasi di hotel-hotel. Pakar komunikasi itu juga berpendapat, sistem politik di Myanmar yang dipimpin junta militer menyebabkan kecurigaan antarwarga begitu tinggi. Anggota masyarakat sering menaruh curiga kepada yang lain karena tak ada keterbukaan. "Mereka tak berani berbicara terbuka, menyampaikan pandangannya dan merasa takut diciduk aparat keamanan bila berseberangan atau mempunyai pandangan politik yang berbeda," katanya. Henry mengibaratkan suasana seperti itu di sebuah penjara yang memiliki pengawas. "Fenomena `panoptikon` terjadi di negara itu di mana warga merasa takut akan ada ancaman yang dijatuhkan walau belum tentu ada. Aparat negara berperan begitu besar seperti pengawas penjara," katanya. Dikatakannya, tak hanya Myanmar tapi masih banyak lagi yang menerapkan sistem politik yang membuat negara seperti penjara sehingga rakyat merasa takut. "Jika kita hidup di bawah bayang-bayang ketakutan dan curiga-mencurigai, kita tak bisa kreatif dan inovatif sehingga kehidupan menyengsarakan dan tak membahagiakan," katanya. Tak punya musuh Pada bagian lain, Henry yang juga staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus bersyukur karena Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan manusia cukup besar tidak mempunyai musuh di dunia dan dapat menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain sesuai dengan kebijakan luar negeri bebas dan aktif. "Kebutuhan akan barang dan jasa di dalam negeri begitu besar karena jumlah rakyat Indonesia yang juga besar. Ini peluang untuk menarik investor menanam modal di dalam negeri," katanya. Jika memiliki musuh, menurut dia, negara sulit berkembang dan rakyat tak dapat menikmati kehidupan yang damai dan kemakmuran. Dengan kelebihan-kelebihan yang ada di Indonesia, kata Henry, kini bagaimana bangsa Indonesia dan para pemimpinnya dapat mengelola pemberian Tuhan Yang Maha Esa dengan amanah. Berbicara tentang teman atau musuh, Bob Iskandar dari Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ) secara terpisah mengatakan, penting bagi bangsa Indonesia memiliki teman, bukan musuh. "Dengan berteman baik, kita dapat berkomunikasi tanpa hambatan sehingga memudahkan penyampaian pesan," ujar Bob, yang juga sebagai penyiar radio, saat berkunjung ke ANTARA. Dia mengatakan, faktor penting dalam mencari teman adalah komunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti satu sama lain. Bob yang menguasai beberapa bahasa asing dan daerah mengatakan, jika bertemu dengan orang yang baru dikenal dengan menggunakan bahasanya, maka komunikasi akan dapat berjalan tanpa hambatan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008