Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah memperluas cakupan program pendataan penyakit hepatitis C ke 10 provinsi, yang sebelumnya dilakukan di 11 provinsi, kata seorang pejabat Departemen Kesehatan. "Dengan perluasan cakupan ini nanti datanya diharapkan bisa memberi gambaran komprehensif tentang besaran masalah hepatitis C di Indonesia," kata kata Tjandra Yoga Adhitama, Pelaksana Tugas Direktur Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, di Jakarta, Kamis. Data tentang besaran masalah hepatitis C tersebut, kata dia, selanjutnya akan digunakan sebagai acuan dalam membuat kebijakan penanggulangan penyakit hepatitis C di tanah air. Lebih lanjut ia menjelaskan, pendataan tahap II akan mulai dilakukan tanggal 1 Oktober 2008 sampai 31 Maret 2009 di 10 provinsi perluasan yakni Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Pendataan tahap II di kesepuluh provinsi tersebut, menurut dia, didukung 43 unit pengumpul data yang terdiri atas 19 rumah sakit, 13 laboratorium, dan 11 unit transfusi darah. Program pendataan itu, katanya, merupakan lanjutan dari program pendataan hepatitis C tahap I yang dilakukan pada 1 Oktober 2007-31 Agustus 2008 di 11 provinsi yakni DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Kalimantan Barat serta Papua. Ia menjelaskan, pendataan tahap pertama mencakup 49 unit pengumpul data yang terdiri atas 13 rumah sakit, 24 laboratorium dan 12 unit transfusi darah. Dengan demikian, lanjut dia, pendataan hepatitis akan mencakup 21 provinsi dengan 118 unit pengumpul data yang terdiri atas 48 rumah sakit, 44 laboratorium dan 26 unit transfusi darah. "Hasil sementara, selama pendataan tahap pertama, sudah ada 5.870 kasus hepatitis C yang tercatat," katanya. Departemen Kesehatan bekerja sama dengan PT Roche Indonesia melakukan pendataan penyakit hepatitis C untuk mengetahui besaran masalah penyakit tersebut di Indonesia. "Karena selama ini kita belum punya data penyakit hepatitis C, kita hanya menggunakan angka referensi dari WHO yang memperkirakan besaran penyakit hepatitis C sekitar tiga persen dari populasi," katanya. Padahal, ia menjelaskan, penyakit yang belum ada vaksin pencegahannya itu merupakan penyakit menular yang juga membutuhkan perhatian serius karena berpotensi mengakibatkan kejadian luar biasa penyakit. Menurut Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan Prof. Dr. H.Ali Sulaiman, PhD. SpPD-KGEH, penyakit yang gejala klinis awalnya tidak terlihat itu menimbulkan beban ekonomi yang sangat besar jika tidak ditangani sejak dini. Ia mencontohkan, bila penyakit yang disebabkan oleh virus itu berlanjut menjadi sirosis ringan maka dibutuhkan biaya pengobatan sekitar Rp30 juta per orang per tahun. "Bila menjadi sirosis berat tanpa transplantasi butuh Rp60 juta/orang/tahun, kanker hati yang tidak ditransplantasi butuh Rp120 juta/orang/tahun, dan bila harus menjalani transplantasi biaya per operasi Rp1,5 miliar sampai Rp2 miliar dengan biaya perawatan sesudahnya Rp150 juta/tahun," paparnya. Ia menambahkan, berdasarkan estimasi WHO saat ini sekitar tujuh juta penduduk Indonesia terinfeksi virus hepatitis C namun 80 persen hingga 90 persen diantaranya tidak menyadari infeksinya. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan beban ekonomi yang lebih tinggi bila tidak segera ditangani. "Karena itu pendataan sangat diperlukan, supaya kita bisa mengidentifikasi dan menangani penyakit ini sejak dini," demikian Prof.Ali Sulaiman.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008