Denpasar (ANTARA News) - Seniman perak yang menjadi tersangka penjiplakan motif perak, Ketut Deni Aryasa, meminta kepada majelis hakim untuk dibebaskan dari segala bentuk tuntutan. Hal ini diungkapkan Deni dalam pleidoi di sidang lanjutan pelanggaran hak cipta, di Pengadilan Negeri Denpasar, Rabu. "Saya sebagai orang Bali merasa sangat tersinggung. Motif yang saya gunakan adalah motif tradisional Bali bukan milik asing," kata Aryasa. Pada persidangan sebelumnya, Aryasa dituntut 2 tahun penjara, atas tuduhan melanggar hak cipta. Aryasa dituduh menjiplak motif "fleur" yang telah dipatenkan oleh seorang pengusaha perak di Bali asal Kanada. Dalam pleidoi yang dibacakan Aryasa, ia mengatakan motif "fleur" adalah motif tradisional Bali terdiri dari beberapa motif, seperti "jawan keplak". Motif itu menurutnya adalah milik kolektif masyarakat Bali dan tidak bisa dipatenkan. "Ini jelas motif milik Bali, namanya saja yang diganti saat dipatenkan di Dirjen HAKI," kata Aryasa. Sidang yang berlangsung sekitar satu jam tersebut mendapat banyak perhatian. Ruang persidangan dipenuhi seniman perak dan budayawan. Bahkan diantara pengunjung terdapat perwakilan dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Dinas Kebudayaan, I Made Purna. Menurut Purna, kasus tersebut terjadi karena belum adanya kesadaran pihak seniman untuk menghak-ciptakan karya mereka. Untuk itu pemerintah akan mulai mendorong menyadarkan seniman mengenai pentingnya hak cipta. "Menghak-ciptakan sebenarnya tidak sulit, tapi memang belum menjadi kebiasaan saja bagi seniman," kata Purna. Sidang yang dipimpin majelis hakim, Nyoman Gde Wirya, akan dilanjutkan Selasa (23/9) dengan agenda tanggapan jaksa atas pleidoi.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008