Semarang (ANTARA News) - Masalah pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selalu berkaitan dengan kekuasaan, politik, dan ekonomi, sehingga yang sering menjadi sorotan adalah proses hukum, sedang faktor personal penyebab sesorang bertindak korupsi kadang dilupakan. Demikian dikatakan Setyo Widodo SS, pengamat sosial dari Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (FS-Undip) Semarang di Semarang, Jumat. "Dalam Dian`s Site mengutip pendapat Samuel Huntington Korupsi diartikan sebagai perilaku menyimpang dari para pegawai publik (public officials) terhadap norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi," ujarnya. Sementara kasus korupsi terbaru yang menjadi sorotan publik adalah masalah suap yang terjadi di KPPU. M Iqbal, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diduga menerima suap Rp500 juta dari Billy Sindoro, Dirut First Media, sebuah perusahaan televisi berbayar. Padahal jika melihat prestasinya M Iqbal pernah menjadi Ketua KPPU dua kali. Artinya dia termasuk orang yang kredibel dan dapat dipercaya. Bahkan diharapkan menjadi penjaga integritas di KPPU karena merupakan orang lama. Selain berprestasi dia juga tidak memiliki masalah dengan kondisi finansial. Namun, pada kenyataannya, dia terperosok dan menghancurkan reputasi lembaga tempatnya bernaung. Berkaitan data tersebut, jelas terlihat bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia. "Hal ini berawal dari wilayah individu. Di wilayah ini, perilaku korup tidak hanya ditautkan dengan moralitas personal yakni menyangkut nilai-nilai yang diserap seseorang," katanya. Keputusan untuk korupsi juga menyangkut hal situasional seperti adanya peluang korupsi atau faktor kemiskinan. Jabatan publik hanya ditakar secara ekonomis, seluruh harapan luhur tentang moral jabatan dan etika politik menjadi sirna. Perilaku korupsi persis berkembang subur dalam iklim yang demikian. Kedua, wilayah sistem. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem memberi peluang bagi terjadinya pelanggaran seperti korupsi. Selain itu, hubungan pengawasan antarlembaga yang kurang efektif turut memproduksi peluang terjadinya pelanggaran. Lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin, minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika, budaya kolonialisme, kemiskinan, tidak adanya hukum yang tegas, budaya, serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup. "Tindakan salah seperti perilaku korupsi, adalah penyalahgunaan wewenang sebagai pribadi. Sehingga jika dia memikirkan kepentingan masyarakat luas, idealnya berani mengakui kesalahan dan menanggung risiko akibat perbuatannya," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008