Jakarta (ANTARA News) - Akhir pekan ini masyarakat Indonesia khususnya dan Thailand dikejutkan adanya perundingan damai konflik Thailand Selatan. Semua tersentak. Kenapa di Istana Bogor? Kenapa seakan tiba-tiba Wakil Presiden Jusuf Kalla bisa menjadi mediator? Apa hubungannya? Kenapa? Mungkin sederet pertanyaan menggantung. Tentu bukanlah sebuah kebetulan atau tiba-tiba saja terjadi. Adalah sebuah rangkaian perjalanan panjang untuk bisa menguraikannya. Tentu sebuah konflik vertikal yang telah puluhan tahun bahkan disebut-sebut sudah terjadi sejak 100 tahun. Dari perjalanan sejarah kekerasan di Thailand Selatan atau Melayu Patani bermula ketika munculnya Traktat Anglo Siam pada 1901 s/d 1909. Dimana dengan traktat Anglo Siam tesebut hak-hak dan martabat muslim Patani dicabut. Jauh sebelum munculnya Traktat Anglo Siam tersebut, rakyat Patani atau muslim Patani merupakan bangsa yang dari sejarahnya memiliki sosio kultural Melayu Patani Muslim yang sudah mapan. Muslim Patani pada massa itu memiliki hak-hak dan martabatnya sebagai bangsa yang berdampingan dengan bangsa Thai. Namun tiba-tiba dengan Traktat Anglo Siam tersebut semua itu tercabut. Mulai sejak itulah muncul aksi-aksi perlawanan dengan kekerasan. Dan thal tersebut berlanjut hingga saat ini. Melihat latar sejarah tersebut, seakan teramat sulit untuk bisa dipersandingkan duduk dalam satu meja perundingan. Konflik telah berlangsung hingga berpuluh-puluh generasi. Sebagaimana halnya konflik Aceh. Konflik di Thailand Selatan ini telah menjadi konflik "turunan" yang terus diwariskan kepada generasi penerusnya. Bahkan disaat perundingan damai sedang berlangsung di Istana Bogor, sebuah aksi kekerasan di Yala, Thailand masih juga terjadi. Tiga orang tewas tertembak dalam serangan-serangan di Thailand selatan yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, di Yala, Thailand, Minggu (20/9). Seorang penyadap karet, 60 tahun ditembak ketika ia sedang mengisi bensin motornya di sebuah pompa bensin di Provinsi Pattani, kata polisi , sementara di provinsi tetangga Pattani seorang pemuda Muslim berusia 22 tahun tewas akibat ditembak orang yang naik kendaraan. Di tempat lain Pattani, seorang pedagang yang beragama Buddha ditembak mati ketika sedang dalam perjalanan menuju ke tempat usahanya. Paling tidak hingga saat ini diklaim telah ada sekitar 3.400 orang tewas sejak aksi kekerasan separatis meletus lebih dari empat tahun lalu di selatan Thailand. Sungguh konflik berdarah yang menahun. Menyambung pertanyaan kenapa bisa Wapres Jusuf Kalla menjadi mediator?.Kisah sukses perundingan Damai RI-GAM di Helshinki menjadi "pintu" terpilihnya Jusuf Kalla sebagai sang mediator. Berlandaskan sukses MoU Helshinki tahun 2005 itersebut pemerintah Raja Thailand tertarik untuk menerapkan sukses perundingan damai RI_GAM tersebut. Karena itulah pemerintah Thailand meminta kesediaan Jusuf Kalla untuk bisa menenahi konflik Thailand Selatan. Proses yang berlangsung sejak setahun lalu tidak begitu saja berjalan mulus. Setidaknya sampai lima kali delegasi pemerintah Thailand "membujuk" Kalla untuk bersedia menjadi mediator. Reputasi dan kisah sukses MoU Helshinki seakan menjadi jaminan. Pemerintah Thailand terus ngotot meminta. Suratan takdir munkin bisa dikatakan begitu. "Blessing" Dilain pihak masyarakat Muslim Patani Selatan juga melakukan langkah-langkah yang sama. Tidak bisa dipungkiri peran beberapa tokoh penting Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi perundingan saat di Helsinki menjadi jembatan menuju para elit masyarakat Thailand selatan. Beberapa tokoh kunci masyarakat Thailand Selatan atau Patani bermukim di Swedia. Negara yang sama di diami oleh para tokoh GAM. Melalui para tokoh GAM inilah jalinan tali temali bisa dirajut. Ada pepatah tak kenal maka tak sayang berlaku disini. Karena kenal tentunya saling sayang. karena pergaulan antara Jusuf Kalla dengan tokoh-tokoh GAM sudah terjalin akrab. Rasa sayang pun sudah terbina. Hasil damai sudah didapat. Maka begitulah tokoh-tokoh Masyarakat Thailand Selatan pun akhirnya "nyambung" dengan Wapres Jusuf Kalla. Dan mandat pun diberikan masyarakat Thailand Selatan kepada Wapres. Namun meski mandat telah didapat dari kedua belah pihak yakni pemerintah Thailand dan masyarakat Thailand Selatan. masih ada satu ganjalan. Siapa yang berhak mewakili masyarakat Thailand Selatan?. Sebuah pertanyaaan sederhana namun tak sesederhana itu untuk memutuskannya. Kenapa ? karena setidaknya ada enam faksi ada di Thailand Selatan. Keenam faksi tersebut memiliki kepentingan, sejarah, bahkan mungkin dendam yang berbeda. Nah bagaimana menyatukannya untuk bisa duduk satu meja ? Beberapa kali pertemuan awal dilakukan. Akhirnya disepakati untuk melakukan pertemuan "besar" seluruh tokoh-tokoh kunci muslim Patani diseluruh dunia. Pertemuan dilakukan di MakKah, sambil melakukan ibadah Umrah. Dari pertemuan tersebut akhirnya disepakati ke enam faksi tersebut bergabung dalam wadah yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Muslim Patani (MPRMP). Dengan wadah MPRMP inilah didapatkan satu pihak yang bisa mewakili masyarakat Thailand Selatan. Istana Bogor Satu persoalan sudah mulai teratasi. Pihak yang berseteru sudah bisa ditemukan yakni pemerintah Thailand dan MPRMP. Namun untuk bisa mendudukkan kedua belah pihak dalam satu perundingan tidak serta merta bisa dilakukan. Serangkaian pertemuan terus saja dilakukan. Setidaknya tiga pertemuan telah dilakukan untuk persiapan menuju perundingan damai di Istana Bogor. Pertemuan pertama di Penang, kemudian dilanjutkan di Kedah dan Langkawi Malaysia. Selama satu tahun tersebut, Jusuf Kalla terus melakukan persiapan-persiapan. Berkaca dari pengalaman menyelesaikan konflik Poso, Ambon dan Aceh. ia pun melakukan hal yang sama. Membaca, menguasai masalah dan memetakan masalah. Segala macam buku dan referensi mengenai Thailand Selatan menjadi makanan sehari-hari. Tak ketinggalan bahkan sampai konstitusi Thailand yang baru disahkan pada tahun 2007 lalu juga dipelajarinya dengan seksama. Mungkin tak pernah terbayangkan oleh kedua belah pihak yang berseteru. Bagai sebuah persiapan ujian akhir Wapres tak ingin gagal. Setelah persiapan matang. Kedua belah pihak berseteru pun sudah didapat. Sebagai mediator, Wapres tentu tidak ingin melepaskan begitu saja jalannya perundingan. Disusunlah konsep perundingan sekaligus beberapa materi plus tata tertibnya. Dengan berbekal pengusaan masalah dan pengalaman tentunya menjadi modal utama suskesnya perundingan. Dan Istana Bogor menjadi pilihan. Istana yang dibangun pada jaman kolonial Belanda, tahun 1908 menjadi saksi bisa sebuah perudingan damai konflik Thailand Selatan. Di Istana Bogor ini pula pernah dilangsung pertemuan Jakarta International Meeting (JIM) untuk menyelesakan konflik di Kamboja . Dan bukan secara kebetulan pula jika dipilih tanggal perundingan pada 20 - 21 September 2008. karena tanggal 20 September merupakan Hari Perdamaian Dunia. Jadi tak berlebihan jika harapan damai itu bisa terwujud.(*)

Oleh Oleh Jaka S Suryo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008