Bengkulu, (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi Bengkulu memerintahkan pemeriksaan Gubernur Bengkulu, Agusrin Maryono Najamuddin, sebagai saksi dalam perkara korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Penerimaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau lebih dikenal "Dispenda Gate". Pengadilan Tinggi memandang perlu memeriksa Agusrin guna penanganan kasus tersebut dalam tingkat banding, terkait dengan keterangan terpidana Chairuddin yang mengaku seluruh pengeluaran uang yang dilakukannya atas sepengetahuan Gubernur Bengkulu. "Kami sudah menerima permintaan Pengadilan Tinggi untuk menghadirkan Gubernur Bengkulu dan Chairuddin pada persidangan tingkat banding. Surat panggilan sudah kita kirimkan," kata Humas Kejaksaan Tinggi Bengkulu Santosa Hadipranawa ketika dikonfirmasi, Minggu. Menurut dia, meski penanganan perkara tingkat banding, namun pelaksanaan sidang pemeriksanaan Gubernur dan Chairuddin akan digelar di Pengadilan Negeri Klas I A Kota Bengkulu yang dijadwalkan pada Rabu (24/9). Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas I A Kota Bengkulu telah memvonis Chairuddin satu tahun penjara dalam kasus Dispenda Gate. Putusan itu lebih rendah dari tuntutan tim JPU Kejaksaan Tinggi Bengkulu yang meminta ara Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bengkulu non-aktif itu dihukum empat tahun penjara. Majelis hakim PN berpendapat Chairuddin yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kesbanglinmas itu terbukti bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Chairuddin dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana bagi hasil pajak senilai senilai Rp21,3 miliar. Karena putusan yang diberikan PN kurang dari 50 persen tuntutan maka tim JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bengkulu. Selama proses perkara itu, mulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Tingggi hingga persidangan di PN, Gubernur Bengkulu tidak pernah diperiksa, karena surat izin dari presiden belum keluar. Padahal, persidangan di PN Chairuddin menerangkan semua yang dilakukannya termasuk pembukaan rekening di BRI dan pencairan uang dari dana bagi hasil pajak itu atas sepengetahuan gubernur sebagai atasannya. "Semuanya saya laporkan pada gubernur selaku penanggungjawab pengelolaan keuangan, dan saya sendiri menggunaan uang itu karena menjalankan tugas selaku bawahan atas perintah atasan," kata Chairuddin, saat persidangan di PN beberapa waktu lalu. Chiruddin mengaku setelah diangkat menjadi Kepala Dispenda, hampir setiap hari dirinya dipanggil oleh gubernur untuk rapat, baik di Gedung Daerah (rumah dinas gubernur-red) maupun Kantor Gubernur Bengkulu. Pada suatu pertemuan, kata dia, gubernur mengeluh pada dirinya karena kesulitan mendapatkan anggaran untuk membiayai berbagai program yang telah direncanakannya di antaranya penanaman pohon jarak pagar. "Waktu itu gubernur bilang, sudah minta dana untuk program jarak itu sebesar Rp6 miliar kepada Biro Keuangan dan Bank Bengkulu, namun tidak bisa dipenuhi karena anggaran tidak ada," kata Chairuddin yang juga mantan Kepala Dinas Infokom Provinsi Bengkulu. Gubernur, lanjutnya, juga menyatakan kalau program percepatan pembangunan termasuk penanaman pohon jarak harus segera direalisaikan untuk memenuhi janjinya bahwa Bengkulu akan berubah dalam 2,5 tahun pemerintahannya. "Karena dari Biro Keuangan dan Bank Bengkulu tidak mendapat dana, gubernur minta saya untuk mencarikan solusi maka saya pun membeberkan kondisi keuangan dan adanya uang masuk (PBB dan BPHTB-red)," katanya. Chairuddin juga mengaku tak lama setelah pembicaraan itu, dirinya dipanggil gubernur untuk membicarakan pemohonan dana Rp6 miliar dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) untuk pengembangan tanaman jarak dan Dinas Kimpraswil sebesar Rp8 miliar untuk pembelian alat berat. "Waktu itu, pak Agusrin (gubernur, red) minta saya untuk menyelesaikan masalah dana tersebut, sebagai anak buah saya memenuhinya, dan kemudian mengambil anggaran dari pajak itu," katanya. Terdakwa juga mengaku diminta gubernur untuk mencairkan "travel cheque" senilai Rp3 miliar di BRI Kramat Jati Jakarta, uang tersebut kemudian diserahkan kepada Nu`im yang ajudan gubernur dan Husnul Fikri, orang dekat gubernur. Ia juga menjelaskan, uang itu kemudian diserahkan pada gubernur di Hotel Dharmawangsa yang berlokasi di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, atas permintaan gubernur. Ketika ditanya bukti penyerahan uang itu, Chairuddin mengaku tidak ada bukti ertulis, namun ada foto saat pengembilan uang bersama Nuim Hidayat (ajudan gubernur-red). Mengenai pembukaan rekening di BRI untuk menampung dana bagi hasil pajak itu, menurut Chairuddin juga atas sepengetahuan gubernur, dan Agusrin kemudian mengirim surat pemberitahuan pada Menteri Keuangan. Demikian juga pemberian pinjaman Rp2 miliar kepada Direktur PT Sawit Bengkulu Madani Heri Santoso, sebagai pinjaman pembangunan pabrik CPO di Kabupaten Muko Muko dan Rp2 miliar pada Direktur PT Bahari Bumi Nusantara, Kusumawati untuk pembelian kapal ikan dan jaring, semuanya atas sepengetahuan gubernur. Chairuddin juga mengaku pernah ditelepon oleh Sekretaris Provinsi Bengkulu Hamsyr Lair yang meminta uang sebesar Rp450 juta untuk kelancaran pembahasan penyusunan anggaran bersama DPRD Provinsi Bengkulu. "Saya tidak tahu untuk apa uang itu, tapi setelah saya berikan uang itu, pembahasan anggaran bersama DPRD lancar," katanya. Berulang kali Chairuddin menjelaskan, apapun yang dilakukannya termasuk dalam menggunakan dana bagi hasil pajak karena melaksanakan tugas yang diberikan atasannya Gubernur Bengkulu. Penyalahgunaan dana itu terungkap setelah BPK wilayah Palembang malakukan audit terhadap APBD Provinsi Bengkulu tahun 2006. Beberapa waktu lalu, setelah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa pejabat Pemprov Bengkulu, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan Agusrin sebagai tersangka terkait dengan Dispenda Gate. Kejaksaan Agung saat ini juga masih menunggu izin presiden untuk memeriksa Gubernur Bengkulu tersebut.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008