Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Darwoto mengaku pihaknya tidak menguasai bidang kesenian seperti yang dilakukan oleh para seniman.

Baca juga: Jakpro: TIM akan jadi tempat ikonik yang 'instagramable'

Baca juga: Seniman TIM tolak pembangunan hotel dalam revitalisasi kawasan

Baca juga: Setelah XXI ditutup, akan dibangun bioskop baru di TIM


Pernyataan itu diungkapkannya ketika menanggapi para seniman Taman Ismail Marzuki yang mengatakan pihak pengembang yang ditunjuk oleh Pemprov tidak mengerti kesenian.

"Kami tidak akan mengelola ranah seninya seolah- olah semua dikuasai Jakpro, kami sadar Jakpro tidak punya kemampuan untuk itu,"kata Dwi saat ditemui di kantornya di Thamrin City, Senin.

Dwi menjelaskan tugasnya dalam pengembang revitalisasi kawasan TIM hanya sebagai pengelola untuk sarana dan prasarana di pusat kesenian itu.

"Kami hanya bagian kecilnya, sebagai Satuan Pelaksana Sarana dan Prasarana. Itu pun mungkin hanya sebagian yang dikelola oleh Jakpro. Kami tidak masuk ke ranah kesenian, ataupun promosi dan pemasaran seni," ujar Dwi.

Jakpro sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI ditunjuk langsung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI sebagai pihak yang bertanggung jawab merevitalisasi TIM hingga perawatannya pascarevitalisasi selama 28 tahun.

Nantinya pascarevitalisasi selesai, Jakpro mengusulkan agar urusan infrastruktur dan pengelolaan gedung dilakukan oleh pihaknya sedangkan untuk kesenian dan promosi dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI.

"Jadi Jakpro hanya mengelola infrastrukturnya," kata Dwi.

Diketahui para seniman TIM menolak adanya pembangunan hotel dalam revitalisasi kawasan pusat kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki yang akan dikelola oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro).

"Kami bukannya menolak revitalisasi TIM, yang kami tolak pembangunan hotelnya. Itu kan tidak sesuai dengan citra TIM sebagai art center," kata salah satu seniman TIM Arie F Batubara saat dihubungi.

Para seniman TIM menilai dengan adanya hotel yang direncanakan berbintang lima itu maka lambat laun orientasi kawasan budaya akan tergerus menjadi kawasan komersial.

 

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019