Padang (ANTARA News) - Karena "mafia" peradilan masih marak dan pengelolaan keuangan buruk maka Mahkamah Agung (MA) hingga 2008 di bawah kepemimpinan Bagir Manan dinilai masih jauh dari kesan bersih. "Kita tidak melihat ada prestasi yang diukir MA selama kepemimpinan Bagir Manan. Kinerja MA masih jauh dari kesan bersih karena masih melekat sikap antitransparansi," kata Kepala Devisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, Febriansyah, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Selasa. Menurut dia, satu bukti MA jauh dari kesan bersih karena tingkat kepatuhan pada rekomendasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) rendah, pada 2007 sebanyak 24 temuan tidak satu pun yang ditindak lanjuti MA atau 0,00 persen. Selain itu, bersikerasnya Bagir Manan menolak kewenangan audit biaya perkara oleh BPK menjadi catatan sikap anti akuntabilitas MA. "Setidaknya Rp31,1 miliar biaya perkara di MA dari 2005 sampai Maret 2008 tidak jelas pengelolaannya, bahkan saat ini KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi biaya perkara itu," katanya. Satu evaluasi lain yang kontradiktif dengan suara publik menyangkut putusan kasus korupsi, berdasarkan penelitian Koliasi Anti 70, trend bebas untuk korupsi 2008 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat. Dia menjelaskan, pada 2005 sekitar 22,22 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas di peradilan umum (54 orang), meningkat mnejadi 32,13 persen atau 116 terdakwa di tahun 2006. Selanjutnya, pada 2007 kembali mengalami naik mencapai 56,84 persen atau 212 orang dan sebanyak 104 orang terdakwa korupsi divonis bebas periode Januari-Juni 2008. "Jadi dari total 1.184 terdakwa kasus korupsi yang dipantau koalisi, sebagian besar divonis bebas dan sebagian lainnya dihukum relatif ringan atau rata-rata 20 bulan," kata Febriansyah. Jadi, tambahnya, hasil evaluasi ini tentu semakin memperlihatkan gagalnya MA memimpin reformasi peradilan dan pemberantasan korupsi. Bahkan, peradilan umum di bawah otoritas MA, justru terkesan menjadi tidak pro pemberantasan korupsi. Selain itu, hasil survei Political and economic Rick Consultancy (PERC) 2008 pun menunjukkan hal yang sama, bahwa Peradilan Indonesia diletakkan pada posisi terburuk di Asia. "Waktu yang panjang dan anggaran yang begitu besar --pada 2008 kenaikan anggaran MA mencapai 200 persen-- dari tahun sebelumnya, ternyata tidak menghilangkan kesan korupsi institusi peradilan Indonesia," katanya. Justru itu, usia pensiun Hakim Agung 70 tahun harus dibatalkan, karena akan memperburuk peradilan dan menambah mundurnya reformasi dalam pemberantasan korupsi. "Kita menolak usia pensiun Hakim Agung 70 tahun, karena sarat dengan kepentingan politik untuk mempertahan status quo," katanya dan menambahkan, Ketua MA Bagir Manan, sudah saatnya mudur karena masa jabatan sudah habis sesuai batas umurnya atau sudah sampai 67 tahun lebih satu hari sampai (7/10).(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008