Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah di pasar spot antarbank Jakarta, Jumat pagi, turun tajam menjadi Rp9.620/9.630 per dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya Rp9.595/9.627 atau melemah 25 poin karena pelaku pasar masih memburu dolar AS. "Pembelian dolar AS oleh pelaku pasar, karena mereka masih khawatir dengan gejolak krisis keuangan global yang menekan pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai berimbas ke pasar Asia khsususnya Indonesia," kata Analis Valas PT Bank Himpunan Saudara Tbk, Rully Nova, di Jakarta. Dikatakannya, pasar masih negatif terhadap rupiah, karena itu mereka masih memburu dolar AS, meski BI telah melakukan berbagai upaya untuk menahan rupiah agar tidak terpuruk lebih jauh. BI sebelumnya telah menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate, sebesar 25 basis poin menjadi 9,5 persen untuk menahan tekanan negatif pasar terhadap rupiah sehingga mata uang lokal itu mampu menguat namun kembali melemah, katanya. BI, menurut dia, kemungkinan akan melakukan intervensi pasar dengan melepas cadangannya untuk memicu rupiah jangan sampai mendekati angka Rp9.700 per dolar AS. Rupiah akan dijaga rupiah untuk tetap berada di angka psikologis Rp9.500 per dolar AS, namun tekanan pasar yang masih kuat mengakibatkan BI masuk pasar dalam waktu yang tertentu saja, ucapnya. Ia mengatakan, rupiah akan tetap dijaga agar tidak terpuruk lebih tajam, apalagi pemerintah juga menyatakan mengantisipasi gejolak global dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Penurunan rupiah saat ini karena pelaku lebih cenderung memegang dolar AS ketimbang rupiah, mereka melepas dananya yang di tempat di pasar domestik dan menukarkannya dengan dolar AS, katanya. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya berkisar 12 persen dari total produk domestik bruto. Jadi merosotnya pertumbuhan ekonomi AS tidak begitu berpengaruh terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Pemerintah harus bisa mengalihkan ekspornya ke negara lain seperti kawasan Timur Tengah dan Jepang, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6 persen tetap tercapai, kata Rully Nova. (*)

Copyright © ANTARA 2008