Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Tony A Prasetyono tak merasa khawatir dengan melemahnya rupiah, karena rupiah diprediksi tak akan mencapai Rp15.000 per dolar AS seperti pada krisis finansial 1997-1998. "Rupiah tidak mungkin balik ke Rp15.000 per dolar AS, karena kepanikan investor tidak seperti krisis 1998," kata Tony, saat berbicara dalam Dialog menghadapi krisis global yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta, Selasa. Menurut Tony, pada krisis yang terjadi saat ini merupakan krisis global dan dampaknya ke Indonesia tidak terlalu besar. "Kita hanya kena ombaknya saja, secara makro ekonomi kita masih kuat," jelasnya. Keyakinan Tony terhadap rupiah yang tidak seperti krisis 1998, karena melihat ketergantungan utang luar negeri Indonesia yang semakin berkurang dan suku bunga bank tidak sebesar 1998. Namun, Tony juga melihat rupiah juga susah untuk balik ke angka Rp9.000 per dolar AS, karena angka tersebut termasuk sudah mahal. "Jangan berharap rupiah kembali ke level Rp9.000 atau Rp9.100 per dolar, karena level 9.000-an ini sudah `overvalue` (kemahalan) dilihat dari indikasi impor kita yang dalam delapan bulan terakhir mencapai 11 miliar dolar AS," katanya. Tony menegaskan bahwa level Rp9.500 hingga Rp9.600 per dolar masih wajar karena melihat inflasi Indonesia yang cukup tinggi sekitar 12 persen. Untuk itu, ekonom dari Bank BNI ini mengharapkan Bank Indonesia (BI) tidak lagi menaikkan BI rate untuk meredam pelemahan rupiah dan inflasi. "Pelemahan rupiah ini disebabkan oleh inflasi dan `capital outflow` (modal keluar)," jelasnya. Dengan kondisi seperti ini Tony berharap BI menghentikan kenaikan BI rate agar tidak mengganggu sektor riil karena kesulitan likuiditas. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008