Jakarta, (ANTARA News) - "Stulifera navis" (Kapal Orang-orang Tolol) merapat di "pelabuhan" Tottenham Hotspur, salah satu penumpangnya bernama Juande Ramos. Bukan sambutan beraroma kepahlawanan yang mengisi atmosfer laga bola, publik malahan merespons dengan berteriak, "Turunkan dia, turunkan dia". Spurs sedang bergolak, spurs sedang terserak. Kekalahan Tottenham Hotspur 1-2 dari tuan rumah Stoke City, Minggu (19/10), membuat masa depan Ramos tampak meredup, tak menentu. Enam kekalahan dari delapan pertandingan mengantar Spurs menghuni dasar klasemen Liga Primer (Premier League). Tidak ada yang mampu memberi pil penenang atau menyuguhi selaksa iming-iming, karena publik tidak lagi terlanjur sayang, tetapi tersedak "kue pretzel" kebencian. Kecupan Ramos di kening publik Spurs bagaikan kecupan mematikan dari tokoh Judas Iskariot. Pundi-pundi sudah terserak di lantai White Hart Lane, tinggal kini menantikan jaman penggenapan, bukan jaman kebangkrutan, apalagi jaman kegilaan. Sejak mendarat di markas Spurs pada Oktober 2007, hati publik berbunga-bunga. Cinta Ramos tidak sebatas deretan kata bujuk rayu, atau rumusan beku, apalagi serangkaian ritus tanpa telaah kritis. Cinta Ramos bukan "wishfull thinking", atau proyeksi manusia akan keinginan mengabadikan kemenangan demi kemenangan untuk meraih pembebasan dari ketidakwarasan, dari kegilaan. Di jaman Renaissance, orang tidak tidak waras berkeliaran meski mereka dianggap sebagai sumber kebenaran karena kritik kerap dilontarkan kepada elite politik masa itu. Pada jaman klasik, yaitu abad 17 sampai 18, sampai Revolusi Prancis, kegilaan dipandang sebagai tanda absennya nalar, bahkan orang gila dicap sebagai binatang. Pada periode pascaklasik, orang gila dimasukkan ke dalam tempat penampungan (asylum). Kegilaan dan ketololan dekat dengan kualitas moral seseorang. Nah, warta gilanya, Ramos justru berada di Stulifera Navis. Ia diukur, diklasifikasi agar mudah dikontrol dan dilabel sebagai pribadi waras. Ini tidak ubahnya seperti peternak yang bertugas memberi cap kepada hewan peliharaannya. Publik Spurs mengusung kredo dari filsuf Michel Foucault bahwa setiap masyarakat memiliki sebuah "rezim kebenaran", atau tipe wacana yang diterima dan difungsikan sebagai sesuatu yang benar. Kebenaran dipahami sebagai serangkaian sistem dari prosedur serba teratur, dari regulasi serba terukur. Kebenaran berhubungan secara melingkar dengan sistem kekuasaan. Kebenaran dijaga keberlangsungannya oleh sistem kekuasaan. Padahal, laga bola mengatasi rezim kebenaran. Mengapa? Sepakbola menimba makna dari penulis klasik Prancis Andre Gide yang mengatakan setiap orang harus mencari kebenaran dengan caranya sendiri dan berusaha membangun kebahagiaannya sendiri. "Bagaimana dunia, tergantung bagaimana kamu memandang dan membuatnya (Le monde sera ce que vous le ferez)." katanya. Ini kredo baru dari laga bola yang dianut oleh Juande Ramos. Buktinya, hingga musim 2007/2008 usai, Hotspur tertap bertahan di Liga Primer. Lebih dari itu, pasukan Ramos sukses menggondol gelar juara Piala Liga setelah menaklukkan Chelsea 2-1 lewat perpanjangan waktu dalam duel di Stadion Wembley. Inilah gelar pertama tim ini sejak tahun 1999, sekaligus mengantar mereka melaju ke Piala UEFA 2008/2009. Setelah mengambil alih kursi kepelatihan dari tangan Martin Jol, sebuah perubahan dilakukan Ramos, yakni menekankan fitnes dan diet pemain. Performa pemain-pemain Spurs meningkat. Ini lantaran Ramos berpegang kepada aksioma bahwa kebebasan tidak ada gunanya jika orang tidak tahu bagaimana memanfaatkannya. Setiap orang harus mempunyai alasan untuk tetap hidup (des raison d'etre). Sayangnya, Ramos melupakan satu elemen mendasar dalam laga bola bahwa semangat dan gairah harus dipertahankan dan diperjuangkan dengan dimodali rasa ingin tahu membara. Kalau Foucault dan Gide dibalut dalam rangsangan berbuat yang terbaik bagi setiap manusia, maka Ramos diharapkan berkata, "Aku minta maaf meski aku sayang padamu." Jadilah, Ramos terlempar dari kapal orang-orang tolol. Bukankah pemain belakang Spurs Jonathan Woodgate mengatakan para pemain berada di belakang Ramos? Katanya, "Ia masih jadi manajer kami. Ia akan terus bertugas. Kami merangkak dari dasar Liga Primer. Ini pengalaman tidak mengenakkan. Kami terluka dari dalam dan harus bangun sesuai harapan publik." Masih ada kerikil dalam sepatu pasukan Spurs. Bolton, Arsenal, Liverpool dan Manchester City sudah menunggu pasukan asuhan Ramos dalam empat laga mendatang. Ini jelas bukan hal mudah, meski segala kemungkinan masih dapat terbuka. Ada guyonan bahwa skuad Ramos menunggu dering panggilan dari Dewi Fortuna. Mantan gelandang Spurs Jamie Redknapp mensinyalir salah satu penyebab Spurs mandeg yakni tidak berjalannya kebijakan yang digariskan oleh direktur sepakbola. "Fungsi Para direktur tidak berjalan optimal. Mereka perlu ditinjau ulang. Mereka punya sosok seperti David Pleat ketika saya masih berada di Tottenham. Sekurang-kurangnya antara manajer dan direktur perlu menjalin kerjasama padu. Ini yang justru tidak berfungsi," katanya kepada Sky Sports. Akankah Ramos hengkang dari Spurs? Dengan nada optimistis, Ramos menyatakan, "Saya sudah bertemu dan berbicara dengan Levy (Daniel Levy, Ketua Spurs). Ia orang sibuk." Ia menambahkan, "sepakbola kerapkali sulit dijelaskan. Ini pekerjaan saya dan saya bekerja keras untuk menyelesaikan situasi ini." Masih ada harapan untuk keluar dari kapal orang-orang tolol bagi Ramos dan pasukannya. "Kalau kami melakukan laga tandang melawan Chelsea, para pemain termotivasi untuk tampil optimal manakala menghadapi tim-tim besar. Saya telah berkiprah selama 20 tahun di sepakbola profesional, punya pengalaman menggembirakan dan pengalaman menyedihkan pula," katanya. Ramos agaknya perlu belajar dari filsuf klasik Yunani Plato yang mendefinisikan kebenaran sebagai sesuatu yang tak lekang dimakan waktu: kebenaran adalah sesuatu yang abadi. Padahal, Foucault mengajak orang untuk menyadari bahwa apa yang selama ini diyakini sebagai sesuatu yang benar adalah buatan manusia lewat kekuasaan dan pengetahuan. Dengan gugatan semacam itu, orang bisa menjadi lebih kritis dan tidak lekas menerima begitu saja apa yang dianggap sebagai kebenaran. Ini posisi Juande Ramos di hadapan rezim kebenaran. Ia tidak ingin terus tersandera dalama kapal orang-orang tolol. Dan Ramos menulis kalimat sarat romantisme, "Aku tak ingin membicarakan hal ini sekarang. Kukira memendam opini bukan sesuatu yang baik, tetapi mengungkapkannya jauh lebih baik meski mencederai perasaan seseorang." Ini dekonstruksi gaya Juande Ramos.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008