Oleh Yanes Setat Denpasar (ANTARA News) - Ali Ghufron alias Muklas (46), yang terungkap menjabat Ketua Mantiqi I untuk organisasi Jemaah Islamiah (JI), kini tinggal menunggu waktu untuk menjalani eksekusi hukuman mati. Namun demikian, pria yang pernah lama menetap di Malaysia itu harus menghadapi regu tembak bukan lantaran jabatannya selaku Ketua Mantigi I, melainkan karena terlibat kasus Bom Bali 2002. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar yang menyidangkan perkara kasus itu pada Oktober 2003 dalam vonisnya menyebutkan bahwa Ali Ghufron adalah pemimpin atau koordinator umum bagi peledakan bom di tiga lokasi di Bali, 12 Oktober 2002. Dalam sidang yang berlangsung di Gedung Narigraha Denpasar, hakim juga menyatakan bahwa warga asal Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur itu, terbukti selaku perencana bagi tindak pidana terorisme yang meletus di Pulau Dewata tersebut. Oleh karena, majelis hakim memvonis Ali Ghufron dengan hukuman mati. Padahal, kata Ni Putu Indriati SH, jaksa yang bertindak selaku penuntut umum terhadap Ali Ghufron waktu itu, ketua Mantiqi I ini harus dijatuhi hukuman tertinggi ditambah dengan sepertiganya, sehubungan tokoh JI Asia Tenggara itu juga terbukti memiliki dan menguasai senjata api dan bahan peledak secara tidak sah. Namun, karena hukuman mati sulit ditambahkan dengan yang sepertiganya, maka jaksa Indriati menyatakan bahwa pihaknya waktu itu hanya menuntut terdakwa Ali Ghufron dengan hukuman mati saja. Ternyata klop, kata Indriati, hakim pun akhirnya menjatuhkan hukuman mati bagi alumnus operasi jihad di Afganistan tersebut. Mendapat vonis mati waktu itu, Ali Ghufron yang dikenal murah senyum, ternyata tidak mengurangi "kebiasaannya". Begitu majelis hakim usai menetapkan hukuman mati dan menutup sidang, Ghufron sepontan berucap keras "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar". Setelah memekikkan kalimat takbir, Ali Ghufron dalam pengawalan petugas meninggalkan ruang sidang, tampak tersenyum-senyum bahkan sempat tertawa lebar saat dibidik sejumlah kamera wartawan. Akibat ulah "komandan" umum bom Bali yang sepertinya tak ada penyesalan itu, beberapa pengunjung sidang yang adalah warga negara Australia, dibuat berang. Dengan celoteh seadanya, beberapa "bule" terlihat memaki-maki Ali Ghufron yang tengah digiring ke luar ruang sidang. Ghufron tampak berusaha melambaikan tangan kepada deretan pengujung sidang yang menghujatnya, namun tak kuasa karena kedua bagian lengannya itu dipegang erat dua polisi yang mengapitnya. Untuk peran dan jabatan Ali Ghufron, yang juga memiliki nama lain Sofwan, selaku Ketua Mantiqi I JI, terungkap lewat keterangan beberapa saksi yang sempat didengar kesaksiannya pada persidangan kasus tersebut. Saksi Mohamad Nasir bin Abbas, selaku ketua Mantiqi III JI, misalnya, sempat mengungkapkan bahwa Ali Ghufron hingga persidangan itu digelar masih menjabat selaku Ketua Mantiqi I JI. Selaku Ketua Mantiqi I, Ali Ghufron bertanggung jawab atas wilayah "binaan" yang meliputi Malaysia bagian barat dan Singapura, kata Nasir Abbas yang adalah kakak ipar Ghufron. Ghufron menjabat Ketua Mantiqi I menggantikan Encep Nurjaman alias Ridwan Isamuddin alias Hambali (37), yang pada awal 2001 dikejar-kejar petugas terkait tuduhan selaku "biang" peledakan bom di sejumlah gereja pada malam Natal 2000. Saksi Nasir yang warga negara Singapura itu mengungkapkan, JI merupakan pecahan dari organisasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), tercatat dibentuk dan didirikan oleh ustadz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir, antara akhir 1991 dan awal 1992 di Malaysia. Adapun orang yang memimpin (amir) JI untuk pertama kalinya, diketahui Abdullah Sungkar, sementara Abu Bakar Ba`asyir, menempati posisi wakil amir. Namun, setelah Abdullah Sungkar meninggal dunia pada 1999, kata Nasir yang mengaku mundur dari JI pada 2003, Amir JI dipercayakan kepada Abu Bakar Ba`asyir. Ba`asyir selaku Amir JI tercatat membawahkan empat mantiqi, yakni Martiqi I dengan wilayah kekuasaan Malaysia bagian barat dan Singapura, Mantiqi II (Indonesia minus Sulawesi Utara/Sulut), Mantiqi III (Sulut, Sabah dan Filipina), dan Mantiqi IV, dengan wilayah "binaan" Australia. Selaku orang yang berada dalam satu level (mantiqi) dengan Ali Ghufron, Nasir yang tertangkap dan berada di Indonesia dalam upaya melarikan diri kejaran polisi di negaranya, mengaku sering melakukan pertemuan dengan teman sesama anggota JI. Namun demikian, peledakan bom di Bali tidak pernah dibahas dalam pertemuan-pertemuan yang dipimpin oleh Abu Rusdan, pelaksana harian Amir JI, menggantikan tugas Ba`asyir sejak pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu ditahan polisi. Saksi menjelaskan, peledakan bom di Bali bukan merupakan prakarsa JI, secara organisasi, karena hal itu tak pernah dibahas atau dibicarakan dalam rapat-rapat yang berlangsung rutin setiap enam bulan sekali. Tetapi, kata Nasir, sejumlah pelaku bom Bali yang sempat disidangkan di Denpasar, diketahui sebagai anggota JI. Mereka itu antara lain Imam Samudra, Ali Imron, Amrozi dan Utomo Pamungkas alias Mubaroq. Berawal di Bangkok Di persidangan tiga tahun silam itu, pada pokoknya terungkap bahwa Ali Ghufron terbukti selaku perencana sekaligus koordinator umum bagi tindak pidana terorisme yang muncul di Bali, 12 Oktober 2002. Ghufron yang juga pendiri Ponpes Lukman Nulhakim di Malaysia, sebelum peledakan bom di Bali telah terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan sejumlah rekannya. Di persidangan terungkap, aksi bom Bali diawali dengan dilakukannya pertemuan di rumah kontrakan milik Ustadz Husein di Bangkok, Thailand, pada Februari 2002, yang antara lain membicarakan tentang operasi jihad untuk menggempur Amerika Serikat (AS), yang dinilai telah memerangi dan menindas umat Islam. Pertemuan di Thailand yang juga menyepakati operasi jihad dengan melakukan tindak peledakan bom itu dihadiri sejumlah tokoh Islam garis keras, antara lain Gufron, Zulkifli, Marzuki, Dr Azahari (almarhum), Wan Min bin Wan Mat dan Noordin M Top. Pada kesempatan tersebut, pertemuan menunjuk Ali Ghufron sebagai Ketua Mujahidin bagi pelaksanaan aksi pembalasan terhadap kekejaman AS dan sekutunya itu. Untuk kepentingan pendanaan, Wan Min bin Wan Mat (warga Malaysia) yang disebut-sebut selaku Bendahara Jemaah Islamiah (JI) Asia Tenggara, langsung menyerahkan sejumlah dana kepada Ali Ghufron. Buntut dari pertemuan di Thailand, Ali Ghufron yang juga menjabat Ketua Mantiqi I JI, pada Agustus dan September 2002 melakukan serangkaian pertemuan di Solo dan Lamongan. Pada pertemuan-pertemuan tersebut, selain telah disepakati untuk dilakukannya aksi peledakan bom di Bali, juga pengukuhan Ali Ghufron selaku pemimpin umum sekaligus penyedia dana bagi aksi itu. Sementara Abdul Azis alias Imam Samudra, oleh Ali Ghufron ditunjuk sebagai pemimpin lapangan, dibantu Ali Imron. Sedang untuk membeli bahan peledak dan merakit bom, masing-masing ditunjuk Amrozi dan Abdul Matin alias Dulmatin, yang hadir dalam rapat-rapat. Selaku penyedia masalah akomodasi dan transportasi, rapat menunjuk Jhony Hendrawan alias Idris. Dalam pelaksanaannya, Imam Samudra telah melakukan tugasnya sesuai penunjukan, sementara untuk merakit dan meramu bahan peledak, selain Dulmatin juga tercatat Dr Azahari, Umar Arab, Umar Patek dan Sarjio alias Sawad. Selain itu, pada hari-hari menjelang peledakan, Ali Ghufron juga sempat memotivasi Arnazan alias Jimmy alias Iqbal dan Ferry alias Isa untuk lebih menguatkan keyakinan mentalnya dalam melakukan operasi jihad dengan cara bom bunuh diri. Terkait itu, pada saat pelaksanaan 12 Oktober 2002, Ferry mengenakan rompi bom yang kemudian tercatat meledak di ruang Paddy`s Pub, sementara Arnazan mengemudikan dan meledakkan bom mobil di depan Sari Club, di Jalan Raya Legian Kuta. Ferry dan Arnazan, oleh petugas dinyatakan tewas dalam aksi peledakan yang juga menelan 202 korban lain, serta sekitar 350 orang tak berdosa menderita luka-luka pada peristiwa itu. Sementara itu, bom yang meledak pada hari yang sama di depan kantor Agen Konsulat Amerika Serikat (AS) di Renon, Denpasar, dilakukan dengan alat pemicu ledakan menggunakan "handphone". Ali Imron tercatat yang telah meletakkan bom di tempat tersebut, yang kemudian diledakan dengan HP dari jarak jauh oleh Idris, beberapa detik sebelum bom meledak dahsyat di Legian Kuta. Atas bukti-bukti di persidangan seperti itulah, majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman mati bagi alumnus operasi jihad di Afganistan, yang juga kakak kandung Amrozi (terpidana mati) dan Ali Imron (terpidana seumur hidup). Sejak vonis mati dijatuhkan kepadanya, Ali Ghufron melalui penasehat hukumnya dari Tim Pengacara Muslim (TPM) diketuai Achmad Michdan SH, langsung menempuh jalur hukum yang lebih tinggi baik berupa naik banding maupun kasasi. Namun, majelis hakim di dua tingkatan tersebut telah secara jelas memutuskan untuk menolak pengajuan banding dan kasasi dari Ali Ghufron dan kawan-kawan. Tidak hanya itu, Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan dalam tiga tahap pun, seluruhnya telah ditolak oleh MA. Itu artinya, vonis mati untuk Ghufron telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Terlebih, pria dengan dua istri dan empat anak ini sudah secara tegas menolak untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Tetapi, baik Ghufrom maupun TPM, dengan tegas menolak untuk meminta pengampunan (grasi) dari Presiden. Alasannya, seperti yang dikatakan pihak TPM, bahwa apa yang Ghufron dan kawan-kawan lakukan, bukan suatu kesalahan atau perbuatan dosa yang harus dimintakan grasi atau pengampunan. "Sorry saya harus grasi, apa kesalahan saya sehingga saya harus memohon pengampunan," kata Ghufron saat ditanya wartawan dalam suatu kesempatan di Lapas Kerobokan, Bali. Melihat itu, Ghufron dan dua terpidana mati yang lain, Amrozi dan Imam Samudra, yang seluruhnya kini mendekam di Lapas Nusakambangan, Jateng, tinggal menunggu detik-detik eksekusi mati di hadapan regu tembak yang akan disiapkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008