Pangkalpinang (ANTARA News) - Banyak tambang timah rakyat di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel) menghentikan aktivitasnya menyusul turunnya harga bijih timah, yang mengakibatkan pedagang pemasok solar eceran ke penambang bangkrut. Kevin, pedagang minyak eceran solar di Pangkalpinang, Sabtu, mengatakan, harga solar turun menjadi Rp225 per jerigen (satuan isi 20 liter), jika dibandingkan harga solar sebelum turunnya harga bijih timah Rp280 ribu per jerigen. Ia menjelaskan, turunnya harga bijih timah mengakibatkan pedagang pengecer solar mengalami kesulitan memasarkan minyak solar, karena banyak pelanggan solar dari kalangan penambang timah yang kini berhenti beroperasi. "Meskipun tidak semua tambang timah menghentikan kegiatannya, namun dari yang masih aktif hanya mampu membeli Rp225 ribu per jerigen dengan alasan duit sulit masuk akibat rendahnya harga pasir timah, sehingga pedagang solar tidak mendapatkan keuntungan," ujarnya. Pedagang pengecer biasanya menjual minyak langsung ke tambang-tambang rakyat, sedangkan pedagang membeli solar di SPBU khusus untuk industri seharga Rp220 ribu per jerigen dan dijual Rp225 ribu per jerigen, sehingga hanya mengantongi sisa Rp5000 per jerigen untuk biaya transportasi. "Karena tidak memperoleh keuntungan untuk sementara kami berhenti menjual solar karena permintaan solar dari penambang timah jarang dan harganyapun murah, sehingga kami etrpaksa makan modal dan akhirnya modal jualan yang tidak seberapa tidak terasa habis," ujarnya. Menurut dia, rata-rata pedagang solar hanya menjual solar ke penambang timah karena keuntungannya lebih besar jika dibandingkan menjualnya ke nelayan dan industri. "Saat harga timah masih tinggi, penambang berani mengambil minyak dengan harga tinggi dan sekarang harga timah anjlok penambang hanya berani mengambil minyak dengan harga murah," ujarnya. Harga pasir/bijih timah basah di tingkat penambang kini hanya mencapai Rp25 ribu/kg dari sebelum terjadi krisis global harganya mencapai Rp90 ribu/kg.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008