Jakarta (ANTARA News) - Christovita Wiloto tidak menulis untuk membuat orang kagum dengan pemikirannya, sebaliknya ia ingin mengajak orang memahami untuk kemudian melakukan hal yang dianggapnya kebajikan publik.

Dalam konteks inilah buku "Behind Indonesia's Headlines; Mengungkap Cerita di Balik Berita (50 Kasus Asli Indonesia)" dipahami.

Buku berisi limapuluh artikel antara Agustus 2003 sampai Maret 2008 ini juga memesankan kecintaan Christovita yang besar pada tanah airnya, kepedulian dan optimismenya mengenai banyak hal yang semestinya juga dimiliki siapa pun di negeri ini.

Buku setebal 265 halaman yang diterbitkan PowerPR Global Publishing, Jakarta, 2008, ini adalah ajakan untuk menarik esensi dari sebuah masyarakat yang sedang berubah dan selama ini dikupas media massa.

Warna dominan dari buku ini sendiri adalah pentingnya berkomunikasi yang efektif dan esensial, baik dalam kehidupan bisnis maupun politik, yang disebutnya sebagai strategic communication."

Tulisan-tulisannya menggambarkan hasrat tinggi seorang yang peduli pada masa depan negerinya untuk memaparkan hal-hal yang selama ini ada di balik yang terlihat, terbaca dan terdengar oleh khalayak.

Tidak heran buku ini dijuduli "Behind Indonesia's Headlines" karena berupaya mengajak awam untuk mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada setiap permasalahan yang dirilis oleh media massa.

"Walaupun media massa, baik cetak maupun elektronik, di Indonesia jumlahnya terus meledak, seringkali masyarakat hanya mendapat sedikit gambaran tentang puncak gunung masalahnya saja. Sedangkan badan gunung masalah yang dihadapi bangsa ini seringkali tidak secara menyeluruh sampai ke masyarakat," katanya di bagian Pengantar.

Anda boleh tak bersetuju dengan caranya melihat, mengupas dan menyampaikan masalah, namun semua itu tidak menolak fakta bahwa tulisannya kaya dengan gagasan, informatif dan eksplanatif.

Bersemangat

Mantan Corporate Planner di beberapa bank ini mengungkapkan apa-apa yang ada "di balik batu" secara bersemangat dengan kerap menyisipkan pesan spiritualitas, etika dan moralitas massa, misalnya nasionalisme.

Dalam "Indonesia Raya" yang ditulisnya pada 24 Agustus 2003, dengan agak melankolik namun berenergi, ia berusaha mengilhami massa dengan menanamkan rasa bangga dan cinta pada tanah air, salah satunya lewat menyanyikan dengan sepenuh jiwa lagu kebangsaan "Indonesia Raya."

Pendiri PowerPR tersebut menempatkan tulisan ini termasuk di awal bagian buku karena menilai nasionalisme adalah akar yang menumbuhkan dan menguatkan sebuah bangsa.

Jika akar itu kuat, niscaya semua perubahan di dalam maupun di luar negara bisa ditanggapi dengan kesigapan dan kepercayaan diri yang tinggi.

Namun hasilnya tetaplah tergantung pada bagaimana dinamika dan respon itu dijembatani dengan benar. Dan ia melihat jembatan itu adalah cara kita berkomunikasi.

Pada "Mengantisipasi Perubahan" yang ditulisnya pada 22 Februari 2004, Christovita menyingkap alasan mengapa komunikasi --khususnya komunikasi strategis-- demikian penting bagi pengembangan karakter nasional sehingga dinamika sosial bisa berkorespondensi dengan reaksi dan treatment untuk menghasilkan output nasional yang konstruktif.

Namun, keyakinannya bahwa berkomunikasi sehat adalah gerbang menuju kehidupan yang produktif, berkualitas dan beradab ini telah menggodanya untuk bertutur pedas, seperti tersurat dalam "Arsenik" yang ditulisnya pada 26 Desember 2004.

Di situ, ia mengkritik keengganan sejumlah pihak untuk berkomunikasi politik secara sehat guna mempertemukan segala perbedaan tanpa harus melukai siapa pun.

Kutipan dari artikelnya berikut menggambarkan semangat ini. "Saya cenderung setuju dengan Todung (Mulya Lubis) bahwa arsenik merupakan tanda bahaya karena ternyata ada orang tidak bisa berbeda pendapat dan menerima aspirasi yang berbeda. Pecinta arsenik adalah orang-orang yang (maaf) memiliki kemampuan berkomunikasi yang sangat rendah."

Tak hanya soal membangun strategic communication ia juga berbicara mengenai nilai-nilai positif lain yang diperlukan sebuah bangsa guna meraih kebesarannya kembali. Salah satunya dengan meninggikan solidaritas sosial yang diantaranya dipesankan dalam "Mega-Tsunami".

Ternyata, di tengah dunia yang kompleks dan secara sosial merenggang, sikap asli bangsa Indonesia yaitu tolong menolong tidaklah pupur, malah terkuak lebar manakala bencana tsunami menerjang Aceh. Manusia dari lintas keyakinan, budaya dan geografi menyatu berlomba menyampaikan simpati.

Sejurusan dengan solidaritas, dia mengungkap karakter orisinil bangsa ini, yaitu kepekaan sosial. Ia bahkan menampilkan nilai ini untuk menarik dunia yang selama ini sangat dikenalnya --dunia bisnis-- agar memahami pentingnya "aspek sosial" untuk menjaga survivalitas bisnis, dalam hal ini Corporate Social Responsibility (CSR).

"CSR merupakan suatu keharusan jika perusahaan ingin menjadi besar dan langgeng. Kecuali jika perusahaan hanya ingin sekedar mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka pendek dan setelah itu kabur alias "hit and run," kata mantan Agency Secretary Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah dibubarkan itu dalam "Pertobatan Korporasi."

Religius

Di banyak kasus ia kerap menyisipkan spiritualitas keagamaan yang dianggapnya inheren dengan masyarakat bangsanya.

Contohnya "Banjir vs Doa Nasional." Di sini Christovita mengungkapkan, rasionalitas tetaplah membutuhkan ketakziman kepada Sang Pencipta.

Pada banyak kesempatan ia berusaha menguak hal yang dipahaminya sebagai "intrik" di balik rangkaian masalah-masalah yang membelit masyarakat dengan meneropong pertautan diantara semua itu.

Misalnya, dia menguak keterkaitan kenaikan BBM, rumor perpecahan Kabinet Indonesia Bersatu dengan Kasus Ambalat serta ledakan konflik Sara di berbagai wilayah yang menurutnya saling bertemali atau telah didesain.

Intinya, Christovita mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam semua ledakan isu --dari ekonomi sampai politik, dari hak paten sampai nasionalisme, dari pembubaran BPPN sampai kasus Ambalat, dari perlunya menanamkan nilai kejujuran sampai menegakkan supremasi hukum dan mencipta transparansi di semua level kehidupan-- yang ternyata acap memuat clique, ambisi, rekayasa, politisasi dan pertarungan antar kepentingan.

Namun, buku yang didedikasikan khusus untuk generasi muda ini bukanlah tanpa kritik. Dan keluhan paling menonjol tertuju pada barisan panjang komentar dari 70 orang tokoh hingga menghabiskan 40 halaman.

Langgam bahasa yang mudah dicerna dan gagasan orisinil dalam tulisan, seharusnya membuat buku ini lebih elok jika diapresiasi langsung oleh pembacanya tanpa terlalu diramaikan rekomendasi pakar. (*)

Oleh Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008