konflik AS-Iran dapat menjadi perang terbuka di kawasan Timur Tengah yang akhirnya mendorong harga komoditas, terutama minyak dunia melonjak.
Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa Indonesia harus bersiap mengantisipasi ketegangan antara Amerika Serikat dengan Iran karena dapat menambah beban laju pertumbuhan ekonomi nasional.

"Tentu ketidakpastian global itu mempengaruhi ekonomi kita. Investor yang tadinya ingin melakukan ekspansi bisnis ke dalam negeri menjadi 'wait and see'. Indonesia harus bersiap menerima ketidakpastian baru," ujar Peneliti Indef Rusli Abdullah ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, konflik AS-Iran dapat menjadi perang terbuka di kawasan Timur Tengah yang akhirnya mendorong harga komoditas, terutama minyak dunia melonjak.

Baca juga: Kemenkeu pantau pergerakan harga minyak usai ketegangan Iran-AS

Harga minyak yang melonjak, lanjut dia, dapat menjadi tantangan di tengah usaha pemerintah untuk memperkecil defisit pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

Tercatat, harga minyak mentah berjangka jenis Brent di angka 68,44 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate sebesar 62,89 dolar AS per barel.

Sementara itu dalam APBN 2020, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan sebesar 63 dolar AS per barel.

"Harga minyak saat ini relatif masih kondusif, namun jika konflik berlarut-larut diperkirakan dapat mencapai 70-80 dolar AS per barel dikhawatirkan dapat membebani APBN," kata Rusli.

Ia mengatakan efek domino dari meningkatnya harga minyak yakni kenaikan inflasi 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.

"Setelah kenaikan minyak, imbasnya akan mempengaruhi harga BBM di dalam negeri yang akhirnya berdampak pada biaya logistik dan transportasi, kemudian berdampak juga pada harga bahan pokok. Pada akhirnya, dapat mendorong inflasi," paparnya.

Baca juga: Sofjan Wanandi khawatirkan dampak situasi Iran-AS bagi Indonesia

Dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi nasional, Rusli menyarankan agar bauran kebijakan pemerintah untuk dikaji kembali. Pemerintah harus fokus tetap menjaga daya beli masyarakat untuk tetap baik.

"Kemudian lebih mempermudah investasi masuk, bagaimanapun pasar Indonesia besar," katanya.

Secara terpisah, Pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo menambahkan pemerintah disarankan untuk melakukan restrukturisasi utang, karena mayoritas utang Indonesia dalam bentuk dolar AS.

"Jika harga minyak naik maka potensi dolar AS menguat juga terbuka karena sifat transaksi minyak yang menggunakan dolar AS," katanya.
Baca juga: Minyak naik dipicu ketegangan di Timur Tengah, Brent sentuh 70 dolar

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020