Jakarta (ANTARA News) - Awan gelap disertai gerimis menyelimuti Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten ketika Kamis sore (11/12) pesawat Garuda Indonesia 869 rute Singapura-Jakarta mendarat membawa jenazah salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki Asia Tenggara. Sore ini memang bukan pertama kalinya Jakarta diguyur hujan seharian, namun suasana kelabu akibat mendung yang menggantung terasa lain dari biasanya karena disertai wajah-wajah sendu sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, yang sore itu khusus berada di ruang VIP terminal I-B guna menyambut jenazah Ali Alatas. Dilahirkan di Jakarta 76 tahun lalu, penerima anugerah Bintang Mahaputra Adipradana itu akhirnya menutup mata untuk selamanya di salah satu rumah sakit bergengsi di Singapura, saat 600an juta warga ASEAN hendak memulai aktivitasnya, pada pukul 07.30 waktu Singapura. Selama puluhan tahun berkarir sebagai diplomat ulung, ayah tiga anak itu melawat ke Singapura dengan setumpuk agenda ASEAN di bahunya. Namun pada 24 Nopember 2008, dia terpaksa dirujuk ke Singapura setelah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta sejak 20 Nopember 2008. Ali Alatas tampak "lebih besar" dari Asia Tenggara atau ASEAN, sementara kiprahnya di kancah internasional adalah daftar panjang yang mungkin sulit ditandingi siapapun. Ali Alatas telah malang melintang dalam setiap komposisi tim diplomasi Indonesia untuk beragam acara --mulai PBB, OKI, APEC, OPEC, sampai GNB-- sejak 1960an hingga akhir hayatnya manakala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempercayainya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan salah seorang anggota delegasi "kelompok pakar" (EPG) Indonesia-Malaysia yang bertugas menghilangkan "kerikil" dalam hubungan baik kedua negara serumpun itu. Berbicara ASEAN tanpa menyebut Ali Alatas bagai sayur tanpa garam, sehingga berita meninggalnya diplomat senior Indonesia itu yang hanya empat hari menjelang pengesahan pemberlakukan Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008, meninggalkan kisah sedih bagi ASEAN. Suatu kisah yang sedikit ironis mengingat Ali tidak hanya tokoh kunci dibalik "reformasi" ASEAN dari organisasi yang berbasis elite menjadi organisasi berbasis rakyat, namun juga saksi sejarah panjang pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu. Dalam perayaan hari ulang tahun ke-41 ASEAN 8 Agustus lalu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan dengan penuh hormat memberikan potongan kue pertama kepada diplomat senior yang mantan wartawan itu, diiringi tepukan tangan dan tatapan kagum para diplomat muda Asia Tenggara yang memadati Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Bukan hanya karena Alex --panggilan akrabnya-- menghabiskan dua tahun terakhir menggodok embrio dari Piagam ASEAN, suatu payung hukum yang telah dinantikan ASEAN selama 40 tahun namun juga karena romantisme masa lalu yang tak dapat diingkari para diplomat ASEAN. Percaya atau tidak, Ali Alatas yang malam itu empatpuluh tahun lalu mengenakan jas berwarna gelap didampingi istri tercinta, juga hadir dalam kesempatan sama --untuk mendamping Menlu Adam Malik-- ketika lima menteri luar negeri ASEAN menandatangani perjanjian bersejarah yang kemudian mengikat negara-negara Asia Tenggara menjadi satu "keluarga besar" di Bangkok. Puluhan diplomat muda dari 10 negara ASEAN yang saling bersulang merayakan ulang tahun ASEAN boleh jadi tidak pernah berpikir bahwa malam itu adalah ulang tahun terakhir ASEAN bersama "sesepuh" ASEAN itu. Semua pihak tentu masih berharap akan terus dapat menikmati tidak hanya senyum Alex ketika bercanda dengan Hun Lakorn Le (wayang Thailand) yang menggodanya dalam pegelaran seni "Best of ASEAN Performing Arts II" itu, tapi juga nasihatnya untuk semua kemelut di kawasan Asia Tenggara. Bahwa di masa mendatang ASEAN tidak bisa lagi bersandar pada ide-ide besar yang dimiliki pria kelahiran 4 November 1932 itu sudah tentu merupakan kehilangan besar bagi ASEAN mengingat ASEAN akan memasuki "hidup baru" dengan Piagam ASEAN. Tapi bahwa sebelum berpulang Ali Alatas telah memberikan Piagam ASEAN sebagai "kado" terakhir yang menjadi pondasi baru bagi para penerusnya dalam menjaga keutuhan "keluarga besar," sudah pasti itu satu bukti komitmen besarnya untuk ASEAN. Masih lekat di benak sejumlah orang yang berhubungan dekat dengannya bagaimana bersemangatnya Ali dalam perundingan-perundingan panjang menyusun embrio Piagam ASEAN di kawasan Ubud, Bali, sebagai salah satu anggota EPG Indonesia. Ali Alatas diusianya yang ke 74 saat itu masih sangat sehat untuk memimpin para diplomat muda bernegosiasi mengenai cikal bakal aturan hukum yang akan mengikat 10 negara anggota ASEAN. Tokoh yang dikenal ramah itu hampir tidak pernah terlihat lelah setiap kali keluar dari ruang perundingan. "Ada apa lagi?" Begitu selalu sapanya, setiap kali menyaksikan puluhan wartawan baik lokal maupun asing menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkutat pada "akankah ASEAN memiliki suatu mekanisme HAM tersendiri". Bukan rahasia lagi jika, perlindungan HAM adalah salah satu titik lemah ASEAN yang memberi citra tidak bagus bagi organisasi itu di kancah internasional. Memburuknya kasus perlindungan HAM di Myanmar adalah salah satu sasaran empuk pihak barat untuk mempertanyakan eksistensi ASEAN. Pada saat itu, sekalipun tidak secara terbuka menyatakan ASEAN akan memiliki suatu badan HAM, tapi Ali Alatas dengan optimis mengatakan ASEAN bukan jenis organisasi yang menomorduakan perlindungan HAM. Dan sebuah senyum yang selalu menghiasi wajah Ali Alatas dalam setiap pertanyaan menyudutkan tentang memburuknya kondisi di Myanmar, seakan menjadi satu pertanda terwujudnya sesuatu yang awalnya dinilai sangat sulit dilakukan Asia Tenggara. Sesuatu hal itu bernama Badan HAM ASEAN. Suatu hal yang mencengangkan sejumlah pihak. "Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu." Itu adalah sebaris kalimat bijak Ali Alatas yang mungkin menjadi rahasia di balik setiap optimismenya dalam menghadapi nada-nada pesimistis pada perjuangan diplomasi. Mantan Menlu Indonesia periode 1988-1999 itu sesungguhnya bukan satu-satunya orang yang disebut "tokoh ulung" ASEAN dalam kelompok yang menamakan dirinya sebagai EPG ASEAN untuk menyusun rekomendasi Piagam ASEAN, namun tanpa mengecilkan kontribusi para tokoh ulung yang lain, pendapat seorang Ali Alatas mengenai satu batu sandungan penting bagi ASEAN sudah tentu perlu untuk didengar. Optimisme Ali Alatas pada masa depan ASEAN dengan pengesahan Piagam ASEAN bahkan masih terungkap pada Juli 2008 lalu saat ia menghadiri diskusi pakar bertema "The Road to Ratification and Implementation of the ASEAN Charter: Its Strengths and Weaknesses", yang diselenggarakan The Habibie Center dan ASEAN Studies Center, Institut Studi Asia Tenggara (ISEAS). "Kekurangan dalam Piagam ASEAN bisa sambil jalan diperbaki," katanya tanpa mampu menyembunyikan binar optimisme dibalik lensa kacamatanya. Pada 15 Desember 2008, sepuluh Menlu ASEAN --Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar-- akan berkumpul di Sekretariat ASEAN Jakarta untuk mensahkan pemberlakuan piagam yang semula diragukan akan betul-betul dapat disahkan sesuai rencana penghujung 2008 mengingat hingga medio November tiga negara kunci --Filipina, Indonesia dan Thailand-- masih juga belum mendepositkan instrumen ratifikasi kepada Sesjen ASEAN dan memburuknya krisis politik di Thailand --ketua ASEAN periode 2008-2009-- yang berakibat pada tertundanya penyelenggaraan pertemuan puncak ke-14 ASEAN di Chiang Mai. Suatu peristiwa bersejarah bagi ASEAN yang sayangnya harus dilewatkan oleh seorang Ali Alatas, yang telah mencurahkan masa-masa terbaiknya demi kelangsungan keluarga besar ASEAN. Dan dengan segala tantangan yang menghadang --diantaranya krisis politik Thailand, macetnya peta jalan demokrasi Myanmar, sengketa Preh Vihear Thailand-Kamboja-- di bawah bayang-bayang ancaman krisis keuangan global, ASEAN harus menyongsong masa depan tanpa pernah lagi dapat mendengar pendapat dari salah seorang "tokoh ulung"-nya. Empat puluh satu tahun Ali Alatas menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan panjang dan jatuh bangun ASEAN. Kini, tiba saatnya "singa tua" itu beristirahat untuk kemudian menjadi bagian dari catatan sejarah ASEAN itu sendiri sebagaimana pendahulunya yang tak kalah besar, Adam Malik. (*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008