Cirebon,  (ANTARA News) - Sekitar 30 sampai 40 persen produk rotan "furniture" yang siap ekspor menumpuk di sejumlah pabrik di Cirebon karena pembeli i luar negeri menunda pembelian akibat krisis global.

"Sejak dua bulan lalu, sebagian buyer ada yang membatalkan pemesanan dan sebagian lagi meminta penundaan pengiriman menunggu situasi krisis membaik," kata Ketua Masyarakat Perajin Pekerja Rotan Indonesia (MPPRI) Badrudin di Plumbon, Kabupaten Cirebon Sabtu petang.

Ia mengungkapkan, akibat penundaan itu maka jumlah ekspor rotan di Cirebon dan sekitarnya menurun drastis dari 3.000 kontainer per bulan menurun sampai 2.000 kontainer per bulan, padahal sisanya sudah siap ekspor.

"Perusahaan saya sendiri terjadi penurunan drastis dari 150 sampai 200 kontainer per bulan, menurun sampai 69 kontainer pada Oktober dan 66 kontainer pada November kemarin. Dan bulan ini juga kemungkinan tidak jauh berbeda," katanya.

Dia mengatakan sebenarnya pangsa pasar mebel dan kerajinan rotan ke Amerika Serikat (AS) hanya sekitar 10 sampai 15 persen, namun krisis keuangan juga melanda Eropa yang pangsa pasarnya sekitar 20 sampai 25 persen.

"Kita masih diuntungkan dengan harga jual dalam bentuk dollar yang saat ini mengalami penguatan dibanding rupiah, namun kalau terus berlangsung penundaan maka mau tidak mau akan terjadi PHK di sejumlah perusahaan," katanya.

Sahroni, salah satu pengrajin rotan mengatakan, penurunan pasaran dunia ini justru lebih memukul industri rotan di China dan Vietman yang selama tiga tahun terakhir "jor-joran" menyerap bahan baku rotan dari Indonesia sehingga terjadi penumpukan bahan baku yang luar biasa.

"Saya yakin ini balasan akan kerakusan mereka yang ingin mengusai bahan baku Indonesia. Kabarnya banyak pengusaha rotan di China sedang kolaps lebih parah karena kesulitan likuiditas akibat stok yang tertahan," katanya.

Industri rotan China berkembang karena diduga mendapat pasokan rotan selundupan. Indonesia menguasai 90 persen bahan baku rotan, sementara bahan baku rotan untuk industri dalam negeri sendiri justru tertekan dan sempat berkali-kali mengalami kelangkaan. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008