Jakarta (ANTARA News) - Peran pemerintah diharapkan lebih optimal dalam mengatasi dampak luapan lumpur di Porong Sidoarjo (Jawa Timur) dan peningkatan peran pemerintah itu sesuai dengan UU tentang Penanggulangan Bencana.

Harapan adanya peningkatan peran pemerintah itu mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), demikian keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

RDP yang dipimpin Ketua TP2LS DPR Priyo Budisantoso (Golkar) berlangsung cukup hangat. RDP dilakukan untuk mendorong penanganan luapan lumpur itu lebih terarah dan optimal.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang hadir sebagai Dewan Pengarah BPLS dikritik kalangan DPR RI karena upaya menanggulangi penderitaan rakyat akibat semburan lumpur Sidoarjo dinilai perlu lebih ditingkatkan lagi.

Anggota TP2LS Alvin Lie (PAN) mengatakan, di saat perusahaan keluarga Bakrie mengalami kesulitan uang akibat dampak krisis keuangan global, pemerintah perlu mengambilalih tanggung jawab untuk menyelamatkan rakyatnya. Jangan membebankan tanggung jawab itu semata-mata kepada PT Lapindo. "Jika nantinya pemerintah menagih Lapindo, itu urusan lain," katanya.

Alvin Lie mengemukakan, sesuai UU Penanggulangan Bencana, tanggung jawab mengatasi dampak lumpur yang dirasakan masyarakat ada di pihak pemerintah. ?Rakyat yang sudah menderita jangan ditambah lagi bebannya. Kalau untuk Bank Century, pemerintah bisa sediakan uang. Ini `kan nggak adil," kata Alvin Lie.

Anggota Timwas TP2LS DPR RI Setya Novanto (Golkar) mengemukakan, dalam kondisi sulit seperti ini Lapindo harus menyediakan dana untuk membeli tanah warga sebesar Rp200 milyar per bulan.

Anggota TP2LS dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menilai Lapindo Brantas yang sudah mengucurkan duit lebih Rp4 triliun untuk mengatasi korban lumpur Sidoarjo memiliki itikad baik, walaupun sampai sekarang belum ada status hukum atas luapan lumpur itu.

"Dulu nggak terasa karena punya uang, tapi sekarang Kita harus jelaskan kepada rakyat kondisi yang sebenarnya. Saya minta pemerintah konsisten," kata Effendi Simbolon.

TP2LS DPR RI juga mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan pembangunan jalan tol agar permasalahan ekonomi menjadi lancar dan tidak menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang berkepanjangan. Untuk permasalahan pembebasan lahan pembangunan jalan tol yang masih terkendala, TP2LS DPR merekomendasikan penggunaan mekanisme hukum untuk pembebasan lahan demi kepentingan publik.

Menjawab kritikan anggota DPR, Menteri PU Djoko Kirmanto mengatakan itu semua sudah menjadi tugasnya sesuai Perpres. "Saya sudah berbuat tapi silakan Bapak-Bapak yang menilai pekerjaan kami," kata Djoko Kirmanto.

Menurut dia, pembayaran sisa 80 persen kepada warga belum bisa direalisasikan secara penuh karena terjadinya krisis keuangan global. Karena itu, dibuat kesepakatan untuk menyelesaikan pembayaran tanah warga korban lumpur dengan skema angsuran.

General Manager Lapindo Brantas Imam Agustino menjelaskan, hingga Oktober 2008, biaya yang telah dikeluarkan Lapindo Brantas untuk upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk penanganan luapan lumpur dan sosial mencapai Rp4,855 triliun.

Lapindo Brantas hingga 12 Desember 2008 telah merealisasikan pembayaran pembelian tanah warga. Penyelesaian pembayaran 20 persen telah selesai semua, yakni sebanyak 12.865 berkas senilai Rp718,28 miliar dan pembayaran 80 persen sebanyak 2.356 berkas senilai Rp419,404 miliar.

Imam Agustino menyampaikan, dalam melakukan penanganan sosial dampak semburan lumpur Sidoarjo, Lapindo berpegangan pada Perpres 14/2007.  "Atas dasar ini, terutama Pasal 15 ayat 1, Lapindo melaksanakan pembelian tanah dan bangunan warga korban lumpur di Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap melalui akta jual beli dengan menyertakan bukti kepemilikan tanah yg mencantumkan luas tanah yang disahkan oleh pemerintah," kata Imam Agustino.

Berdasarkan hal itu, Lapindo Brantas melaksanakan transaksi akta jual beli untuk 8.157 berkas, yang terdiri dari 2.302 berkas warga yang memilih membeli rumah di Kahuripan Nirwana Village (KNV) dan 5.813 berkas warga yang menyetujui mekanisme `cash` bertahap sesuai kesepakatan 3 Desember 2008 antara pemerintah, warga korban, dan Lapindo dengan cara mengangsur sebesar Rp 30 juta per berkas per bulan ditambah bantuan uang kontrak sebesar Rp2,5 juta per kepala keluarga (KK).

Untuk 4.729 berkas warga yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme akte jual beli, Lapindo Brantas melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah melaksanakan kesepakatan mekanisne "cash & resettlement" dengan warga pada 25 Juni 2008.

Berdasarkan rekomendasi Rapat Paripurna DPR RI pada 19 Pebruari 2008, dimana Lapindo menyiapkan pemukiman kembali (resettlement) di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) berikut fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk warga tersebut.

Saat ini, menurut dia, telah dilakukan penandatanganan perjanjian dengan skema "cash and resettlement" sebanyak 1.835 berkas dari total 2.832 berkas.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008