Oleh Bob Widyahartono, MA *) Jakarta (ANTARA News) - Satu dasa warsa lalu (1997-1998), krisis ekonomi Asia, termasuk di negeri ini menjadi gejala yang sangat mendalam (kompleks) yang tak berpreseden dalam perjalanan bangsa ini. Krisis ekonomi Asia saat itu muncul sebagai dampak menjalar (contagion effect) krisis yang diawali di Thailand ke negara-negara di selatan dan ke utara ke Korea Selatan. Krisis ekonomi di Indonesia saat itu karena ketidakmampuan pemerintah negeri ini menahan dampak tersebut, serta sebagai akibat saling keterkaitan faktor fundamental ekonomi-politik yang sebelumnya telah berlangsung lama dan akumulatif. Sebagai bahan telaah, oleh enam dosen termasuk penulis, Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti di Jakarta pada akhir November 1998 menyajikan buku berisikan pokok-pokok tinjauan krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi Indonesia. dengan editor Tulus Tambunan dan Budi Santosa. Buku ini, diterbitkan dalam rangka Dies Natalis ke-33 Univeritas Trisakti. Penulis waktu itu memberikan sumbangan tulisan Mendayung Maju di Masa Krisis: Memulihkan Kepercayaan Dunia Bisnis Indonesia. Kaidah-kaidah ekonomi kian tumpul untuk memahami fenomena moneter yang berkembang tanpa arah yang jelas. Tampak jelas adanya semacam permainan oleh para spekulan asing dan domestik para konglomerat tak beretika. Ketika itu, masalah fundamental ekonomi menjadi perbincangan hangat, menyusul ketidakstabilan luar biasa nilai mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah yang melonjak waktu itu sampai Rp.15.000-an per dolar AS Gugatan mendesak perlunya mau ber-sense of crisis untuk segera ditanggapi dengan kecekatan reformasi kepemimpinan(leadership) . Dengan segala daya upaya oleh kalangan elite dan didukung oleh kalangan pengamat digerakkanlah proses pencarian jalan keluar bersemboyan "reformasi". Waktu itu, kepemimpinan peralihan ke Presiden B.J. Habibie, setelah lengsernya Presiden Soeharto, dalam menggerakkan reformasi dituntut memberi arah fokus baru yang meyakinkan hingga menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat domestik dan pada gilirannya oleh masyarakat internasional. Apa yang diharapkan dari perubahan-perubahan? Secara struktural diungkapkan oleh berbagai kalangan pengamat, yakni pembaruan perundangan dunia perbankan, supervisi dalam sektor finansial dan ketatalokaan korporat yang makin dapat diandalkan. Untuk itu perlu kemauan politik meniadakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) alias kroniisme dalam perekonomian di negeri ini. Kesadaran mewujudkan reformasi mulai tumbuh sejak medio 1998 dan menjadi simbol strategis berbagai kalangan elite dan pengamat untuk menata kembali untuk menyelesaikan krisis itu. Belajar dari sejarah satu dasa warsa lalu dan bagaimana tekad keluar dari krisis tersebut, merupakan bekal visi bagi elite dan pengamat tersendiri memasuki tahun 2009 dan selanjutnya. Kini, situasi dan kondisi di Indonesia berbeda karena menerima dampak krisis ekonomi global yang disulut oleh permainan para spekulan raksasa tak bermoral di Pasar Modal Wall Street di AS semakin jelas terasakan sejak tahun 2007/2008. Memang yang paling parah terkena krisis itu adalah masyarakat Amerika sendiri dan menjalar ke Eropa. Negara negara Asia, sebut mulai Jepang, Korea Selatan, China dan Asia Tenggara, karena pemain pasar modal tidak gegabah spekulatif, tidak terseret dalam permainan Wall Street tersebut. Memasuki tahun 2009, bagaimana prospek ekonomi Asia termasuk Indonesia? Sesungguhnya, perimbangan kekuatan ekonomi di seluruh dunia sudah tertata sebelum tahun 2007/2008, ketika negara negara di Asia Timur, termasuk negara perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN), dengan catatan Jepang yang belakangan ini masih terkena krisis sebagai negara Asia. Krisis finansial global justru tampak mengukuhkan perubahan yang digeluti negara-negara Asia tersebut. Walaupun angka pertumbuhan negara Asia tersebut juga mengalami penurunan, namun pertumbuhan mereka lebih tinggi dibandingkan negara-negara AS dan Eropa Barat. Dunia pada umumnya memasuki tahun 2009 mulai berharap pada Asia khususnya China dengan kekuatan sektor riilnya ditopang oleh Jepang, Korea Selatan, India ASEAN (yang terdiri atas 10 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, Laos, Vietnam, Myanmar dan Brunai Darussalam). Pihak Indonesia, yang masih melemah adalah sektor riil di negeri ini sebagai dampak menurunnya beberapa gejala ekspor, yang menyurutkan sektor industri untuk ekspor, sedangkan nilai mata uang tidak terkena imbas krisis parah yang dibuat oleh pemain pemain Wall Street. Rupiah kita akan masih bisa diprediksi sekitar Rp.10.000-Rp.11.000.- an per dolar AS, yang ke depan diharapkan kembali ke Rp.9500 an per satu dolar AS. Dampak yang masih terungkap adanya kesenjangan antara kebijakan makro disatu sisi dan realita pada tingkat mikro pelaku usaha, pihak UKM (Usaha Kecil dan Menengah) terutama di daerah daerah yang jauh dari pusat.. Meskipun demikian, optimisme harus selalu ditiupkan di kalangan pelaku ekonomi sendiri untuk tidak mandek dan menurun. Kebijakan ekonomi perlu difokus pada pemberdayaan pihak permintaan dari ekonomi (the demand side of the economy). Dengan jumlah penduduk yang mencapai 230 juta-an dapat menjadi daya gerak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan secara realistik, antara lain dengan implementasi Undang Undang Otonomi Daerah dan rancangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang menjadi dasar kebijakan infrastuktur pemberdayaan daerah yang makin potensial untuk kemajuan ekonomi. Apa masih terus bersandar pada mata uang dolar AS? Selama ini proses transaksi ekonomi masih menggunakan mata uang dolar Amerika. Saatnya kini mulai memasuki tahun 2009 dan selanjutnya dengan makin mantapnya Asia dalam abad 21 ini, dengan cadangan devisa China, Jepang dan Asia Timur yang makin "berbicara", perlu menjadi pemikiran memakai mata uang alternatif, mulai dengan Yuan, Yen, Euro, dan Pound Sterling, dalam menghitung transaksi bisnis, investasi dan hubungan internasional yang makin diandalkan, terutama untuk transaksi sektor riil masing masing. Menurut logikanya, reformasi dan peralihan jangan sampai dilihat sebagai momok atau ancaman, tetapi dijadikan sebagai peluang yang realistik.. Salah satu yang utama adalah good public governance dalam arti pelayanan sesuai aturan hukum (rule of law) dan bukan law of the ruler, terutama di eselon menengah. Beretika dalam pelayanan lebih baik, lebih cepat, dan lebih tepat biaya/efisiensi tanpa pungli dan mengulur ulur waktu. Ini bukan semboyan melulu. Penuh janji-janji. Inilah panggilan pelaku birokrasi, terutama eselon menengah yang diberdayakan. Mulai dengan refleksi diri dan melihat ke masa depan, maka inilah bekal pembelajaran para pelaku ekonomi termasuk eselon manajemen menegahnya dan tentunya pemerintah di eselon menengah, agar tetap memiliki kompetensi profesional/etis dalam jaringan kerja vertikal dan horisontal dan lintas sektoral, demi kebersamaan memasuki tahun 2009 dan selanjutnya. Kini saatnya para elite dengan peranserta para pengamat dan pelaku ekonomi di pusat dan di daerah untuk memfokus pada kebijakan sisi permintaan ekonomi (the demand side of the economy), dengan menanggalkan kebijakan neo-liberalisme dengan market dogmatism yang masih banyak kita contek dari pola pikir para elite AS yang belum juga mampu berubah, sehingga berkumandanglah slogan politik Presiden AS terpilih Barack Obama mengenai tuntutan untuk berubah (change). (*) *) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis yang mendalami masalah Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008