Padang, (ANTARA) - "Saya yakin dapat membayar cicilan yang ditetapkan setiap bulan, namun bank menolak pengajuan kredit," ucap Bahri (56) seorang warga Padang yang menceritakan pengalamannya saat hendak membeli rumah.

Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang makanan keliling itu sedikit demi sedikit menyisihkan laba dagangannya untuk bisa membeli satu rumah sederhana.

Kendati penghasilannya tidak menentu namun setidaknya kalau punya rumah sendiri ada tempat berteduh dan tidak perlu lagi membayar uang kontrakan walaupun bangunannya kecil.

Bagi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah hingga saat ini rumah masih menjadi barang mahal karena harganya terus naik dari tahun ke tahun.

"Siapa yang tidak mau punya rumah, namun nasib belum berpihak," lanjutnya.

Bahri sudah mencoba untuk membeli rumah sederhana tipe 36 dengan mengajukan kredit ke salah satu bank di Padang.

Namun impiannya kandas terkubur karena pengajuan kredit perumahan ditolak bank dengan alasan penghasilannya dinilai belum layak untuk mencicil.

Yang lebih menyedihkan, dana yang telah disetor sebagai uang muka pemesanan pada pengembang hanya dikembalikan Rp4.500.000, sisanya Rp500 ribu dipotong dengan alasan biaya administrasi.

Ia tak dapat berbuat apa-apa, mengingat profesi sebagai pedagang makanan keliling dengan penghasilan yang tidak tetap.

Padahal saya sudah hitung dengan penghasilan yang diterima dapat mencicil sebuah rumah sederhana, ujarnya.

Ia mulai mengubur impian memiliki rumah dan hanya bisa berharap anak-anaknya bisa membeli rumah.

Belajar dari pengalaman ayahnya yang ditolak saat mengajukan kredit akhirnya Abdul putra pertama Bahri bertekad kuat untuk bisa membeli rumah untuk ayahnya.

Usai menyelesaikan studi di salah satu perguruan tinggi negeri ia beruntung bisa diterima bekerja di salah satu perusahaan distributor pada 2015.

Walaupun penghasilannya baru berkisar Rp3 juta sebulan tetap berupaya menyisihkan gajinya setiap bulan agar bisa menabung untuk membeli rumah.

Sebagai generasi milenial salah satu godaan yang kerap dihadapi adalah ajakan dari teman-teman untuk nongkrong di kafe hingga pergi berlibur.

Saat melakukan survei harga rumah dan simulasi kredit ia menemukan ada program yang diluncurkan Bank Tabungan Negara yaitu KPR Gaes saat mencari informasi di internet.

KPR Gaeesss merupakan skema pembiayaan perumahan yang diperuntukkan bagi generasi milineal dengan kelebihan uang muka yang lebih rendah dan masa angsuran yang lebih panjang hingga 30 tahun.

Tidak hanya itu ia pun dimudahkan mencari rumah dan skema KPR dengan aplikasi BTN Properti yang bisa diakses dengan telepon pintar.

Brand Consumer Loan Unit BTN Cabang Padang Lessy Indrawati menjelaskan KPR Gaeesss menyasar generasi milineal yang saat ini sudah mulai produktif karena memasuki dunia kerja.

"Jika KPR biasa jangka waktu angsuran maksimal 25 tahun, KPR Gaeesss bisa 30 tahun sehingga angsurannya lebih murah sehingga para generasi milenial bisa memiliki rumah," kata dia.

Ia menyebutkan KPR Gaeesss sudah mulai diluncurkan pada 2019 dan juga bisa diakses dan diajukan lewat aplikasi BTN Properti termasuk berapa angsuran tiap bulan.

Bagi yang mengambil KPR Gaeesss maka uang muka cukup lima persen dari harga rumah dan angsuran untuk besaran kredit juga terbilang menarik yaitu 8,99 persen untuk nilai di atas Rp250 juta dan 9,49 persen untuk di bawah Rp250 juta.

Ia menyampaikan salah satu perumahan yang saat ini dibangun dengan skema KPR Gaeess adalah perumahan Keyzana Putra Mandiri di kawasan Andalas Padang.


Baca juga: Pemerintah siapkan skema khusus pembiayaan rumah untuk Millenial
Baca juga: Pemerintah siapkan alternatif pembiayaan pembangunan rumah murah



Fungsi Rumah

Pada awal peradaban manusia terbentuk, rumah digunakan sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan pemangsa, seiring berjalan waktu bergeser menjadi tempat istirahat dan melakukan kegiatan domestik hingga menjadi cikal dari pusat peradaban.

Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, rumah menyimpan banyak kenangan bagi setiap orang mulai dari yang baik hingga yang kurang elok.

Hampir sebagian besar hidup kita dihabiskan di rumah, tempat tumbuh besar, berinteraksi dengan anggota keluarga dan tetangga hingga membangun kehidupan sosial.

Pentingnya kebutuhan rumah bahkan diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Tak heran Amos Rapoport yang merupakan seorang arsitek dan penulis buku House form and culture menyatakan rumah bukan semata house namun merupakan home yang di dalamnya juga terkandung nilai spritual dan emosional.

Akan tetapi sejak kurun 1990 masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia mengalami kesulitan karena selain harganya mahal, lokasi yang kurang strategis, rawan banjir hingga pada beberapa kasus menjadi korban penipuan.

Pada Desember 2019 polisi berhasil  mengungkap kasus penipuan pembangunan perumahan syariah fiktif dengan korban 3.680 orang dan kerugian mencapai Rp40 miliar


Intervensi pemerintah

Guru besar Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Fashbir Noor Sidin menyatakan dalam penyediaan dan pembiayaan perumahan di Tanah Air diperlukan intervensi pemerintah.

"Rumah adalah istana dan persinggahan terakhir, karena itu penyediaan rumah merupakan tanggung jawab semua pihak mulai dari keluarga, pengembang hingga pemerintah," ujarnya.

Menurutnya kebijakan tentang penyediaan rumah berada pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menghadirkan hunian yang layak, terjangkau dan berimbang.

Salah satunya sudah ada program strategis Sejuta Rumah yang dimulai sejak 2015 sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat, kata dia.

Ia menyebutkan sejak 2015 hingga 2018 telah dibangun 3.542.318 unit dengan komposisi pemerintah pusat 17,9 persen, pemerintah daerah 11,1 persen, pengembang 5,9 persen.

Kemudian ia menilai pemerintah perlu memberi perhatian pada pembangunan rumah susun karena keterbatasan lahan di perkotaan.

Kota-kota besar dengan urbanisasi yang tinggi butuh rumah susun yang banyak dan jadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, ujarnya.

Pada sisi lain ia menyoroti kelemahan kontrol dalam soal perizinan sehingga muncul rumah tidak layak huni.

Rumah harus layak dimulai dari jenis dan bentuk terkait keamanan dan kenyamanan dan kuncinya ada pada izin mendirikan bangunan, katanya.

Selain itu penyediaan rumah harus didukung oleh sistem pembiayaan yang efisien dan berkelanjutan.

Membangun rumah dan lingkungan kehidupan yang baik membutuhkan biaya besar dalam jangka waktu lama, karena itu juga perlu subsidi dari pemerintah termasuk fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, ujarnya.

Salah satu kendala kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah beratnya uang muka dan menyikapi hal itu ada pihak yang sampai memberikan subsidi sehingga ada program DP nol persen.

Namun pada sisi lain Menteri BUMN Erick Thohir mengkritik kebijakan uang muka rumah nol persen atau zero perfect down payment (DP) karena dinilai tidak mendidik generasi muda Indonesia untuk menabung dan bertanggungjawab.

Erick menilai jika anak muda dibiasakan untuk dididik menabung sedari awal dengan bunga KPR 5 persen atau berapa persen, maka generasi muda itu akan punya rasa tanggungjawab.

Pemerintah saat ini juga memberikan bantuan kepada masyarakat berupa subsidi selisih bunga dari bank komersial yang tinggi.

Pada 2019 pembiayaan untuk berbagai bantuan tersebut mencapai Rp20,03 triliun. Namun masalah pokok dalam pembiayaan perumahan adalah ketersediaan dana dan tenor pinjaman jangka panjang.

Rumah adalah segalanya karena semua nilai terhimpun di dalamnya. Peran semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan impian banyak orang ini menjadi penting karena dari rumah suatu peradaban berawal.



Baca juga: Menteri Basuki: penyediaan perumahan tidak gampang
Baca juga: PUPR: superblok solusi penyediaan rumah warga berpenghasilan rendah

 

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020