Jakarta (ANTARA News) - Lebih dari 90 perusahaan Kuasa Pertambangan (KP) batu bara di Kalimantan Selatan (Kalsel) terpaksa berhenti beroperasi menyusul tindakan aparat kepolisian yang menutup aktivitas usaha sejumlah perusahaan pemegang izin KP batu bara di provinsi tersebut. Terhentinya kegiatan usaha pertambangan tersebut berdampak langsung pada 40 ribu orang pekerja tambang yang kehilangan pekerjaan dan 25 ribu orang lagi di sektor informalnya. Sementara pengusaha sendiri merasa dijebak karena sudah menjalani semua prosedur yang berlaku, kata Sekretaris Dewan Pengurus Asosiasi Pemegang Kuasa Pertambangan dan Pengusaha Tambang (Asapektam) Kalsel, Muhammad Solikin di Jakarta, Selasa. Solikin mengatakan, penutupan KP batu bara yang umumnya milik pengusaha lokal itu terpaksa dilakukan karena pengusaha merasa takut. Ketakutan mereka cukup beralasan mengingat pimpinan tiga perusahaan anggota Asapektam Kalsel kini ditahan polisi dan wilayah tambangnya ditutup dengan tuduhan melanggar Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No.453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Kalsel, katanya. Ia menilai, tindakan penahanan dan penutupan lokasi tambang yang didasarkan pada Kepmenhut No.453/1999 tersebut justru bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan undang-undang, lanjut Solikin, Kepmenhut itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena isinya baru merupakan penunjukan kawasan hutan. Menurut dia, dalam Kepmenhut No 453/1999 secara jelas menyebutkan bahwa Kepmenhut masih perlu dilengkapi dengan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan tersebut setidaknya mencakup tiga hal yaitu membuat tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. "Faktanya sampai sekarang Departemen Kehutanan belum melakukan ketiganya sehingga Kepmenhut belum bisa disebut memiliki kekuatan hukum," tegasnya. Oleh karena itu pihak Asapektam Kalsel menyesalkan tindakan aparat yang melakukan penyegelan kawasan tambang, menangkap pengusaha serta menyita peralatan tambang. "Tindakan aparat sudah represif karena secara ketatanegaraan kami sebagai pengusaha sudah mengantungi perizinan dari pemerintah dan menyetor royalti ke negara. Terlebih penangkapan dan penyitaan tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya. Solikin juga menuduh, aparat bertindak diskriminatif mengingat di wilayah yang sama perusahaan asing dan kontraktor besar bisa melakukan kegiatan pertambangan dengan bebas dan tidak diambil tindakan apapun oleh aparat. Solikin mengungkapkan, pihaknya sejauh ini sudah melakukan berbagai langkah persuasif maupun penjelasan baik ke pihak kepolisian, DPRD maupun Gubernur. Namun sejauh ini belum ada tanggapan maupun jalan keluarnya. Asapektam juga telah mengadu ke DPR dan bertemu dengan Ketua DPR Agung Laksono pada akhir Januari lalu. Ketua DPR menyarankan agar masalah tersebut ditangani oleh lintas komisi. "Dari pertemuan dengan DPR disepakati masalah KP batu bara di Kalsel ditangani oleh Komisi III DPR bidang hukum dan HAM," katanya. Solikin berharap, masalah kelangsungan usaha KP batu bara di Kalsel bisa segera mendapatkan solusinya. Hal itu sangat penting karena kelangsungan usaha pertambangan rakyat di Kalsel menyangkut mata pencarian puluhan bahkan ratusan ribu orang di provinsi tersebut dan dampaknya bagi perekonomian Kalsel sendiri. Sementara pengusaha juga sudah mengalami kerugian investasi cukup besar dan kehilangan kepercayaan dari perbankan. "Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi yang menyeluruh dikhawatirkan pula bisa menyulut terjadinya konflik di daerah tersebut," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009