Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung menyatakan periode jabatan hakim agung tidak diatur dalam UUD 1945 sehingga bukan suatu diskriminasi dibandingkan dengan jabatan presiden dan wakil presiden yang diperiodisasi.

"Tidak ada alasan telah terjadi diskriminasi dan diperlakukan berbeda secara kedudukan hukum dalam jabatan hakim agung menurut Pasal 7 dan 11 UU MA dibandingkan jabatan lain, eksekutif dan anggota legislatif karena konstitusi yang telah membedakannya," ujar Ketua Muda Mahkamah Agung I Gusti Agung Sumanatha di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.

Baca juga: Masa jabatan hakim MK dan MA beda, pemerintah diminta jelaskan

UUD 1945, kata dia, tidak menentukan secara eksplisit periodisasi jabatan hakim agung sehingga menjadi kewenangan pembuat undang-undang dalam menentukan.

Sementara UUD 1945 mengatur jabatan presiden dan wakil presiden dapat dipilih satu periode selama lima tahun dan dapat dipilih satu periode lagi.

"Jika pembentuk undang-undang menentukan masa jabatan hakim agung adalah sampai 70 tahun dan tidak ada periodisasi, maka hal ini adalah konstitusional. Berbeda dengan jabatan eksekutif, presiden dan wakil presiden yang sudah ditetapkan limitatif oleh UUD 1945, yakni lima tahun periode yang bisa diperpanjang satu periode berikutnya," ucap Agung Sumanatha.

Agung Sumanatha mengatakan persoalan bukan berada dalam tataran UU MA sehingga dalil pemohon Pasal 7 dan 11 UU MA inkonstitusional disebabkan diskriminasi tidak berdasar.

Ada pun pengujian UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung itu diajukan Aristides Verissimo de Sousa Mota.

Pemohon mengusulkan agar jabatan hakim agung juga dibatasi satu periode lima tahun dan dapat diperpanjang satu periode lagi seperti presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Tujuh pengadilan terapkan antipenyuapan berstandar internasional
Baca juga: Pemerintah: Karakteristik jabatan hakim agung dan presiden berbeda

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020