Jakarta (ANTARA News) - Insiden penyerbuan dan pengrusakan Kantor DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Jakarta yang dilakukan sekelompok orang, Kamis (26/2), amat mengenaskan dan memalukan. Insiden itu menunjukkan adanya persoalan yang sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Masalahnya serius dan menjadi bukti bahwa upaya yang dilakukan pihak internal maupun eksternal KNPI belum tuntas. Menyelami akar masalah dan pusaran liku-likunya, patut diduga ada pendekatan yang salah, cara yang salah juga komunikasi yang salah. Berlarutnya penyelesaian konflik KNPI secara utuh, menyeluruh dan tuntas, akan berdampak pada citra kepemimpinan nasional, pemerintah dan agenda demokrasi yang tinggal di depan mata. Saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) turun tangan bersama Menpora Adhyaksa Dault dan menteri terkait secara langsung, tidak lagi menggunakan media dan perantara, karena tugas-tugas pendelegasiannya selama ini dipandang gagal. Konflik KNPI yang amat memperihatinkan dan menampilkan potret kekerasan, menunjukkan adanya masalah di pucak gunung es yang selama ini mengendap, baik bersifat internal maupun eksternal. Di level eksternal, visi pemerintahan dan manajemen pengelolaan generasi muda dipandang belum berhasil dalam mengelola persoalan KNPI yang memiliki kapasitas organisasi yang amat besar dan beragam serta luas jaringannya di seluruh Indonesia. Kemenegpora tak bisa dijadikan payung utama ataupun payung tunggal sebagai pengelola KNPI karena akan mengalami kedodoran. Upaya menambah konsep kemitraan 18 pemerintahan/departemen pemerintah, tak kunjung bisa berkoordinasi secara interdepartemen untuk memberikan manfaat bagi dunia kepemudaan karena adanya egosektoral dan departemental. Masalah kedua atau masalah utama adalah motif dan budaya "money politic" di kalangan sejumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD)/Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) alias praktik kontraktual dalam memilih dan menentukan Ketua Umum dalam Kongres maupun Musda di KNPI. Yang bermain adalah uang dan kepentingan sehingga kerap muncul pemimpin karbitan. Sampai-sampai, draf AD/ART hasil MPP Riau yang menyatakan dengan jelas persyaratan adanya bebas korupsi dari KPK untuk setiap kandidat dihapuskan atau dimanipulasi. Bagaimana seleksi kepemimpinan di KNPI, dibersihkan dari kekuatan uang dan kepentingan politik, tapi lebih kepada kekuatan visi, integritas, pengalaman maupun rekam jejak teruji yang profesional dalam kepemimpinan kepemudaan. Selama itu berlangsung, citra KNPI tak akan semakin baik dan konflik demi konflik akan terus menjadi komoditi dan hobi karena berbuah manfaat jangka pendek dan pragmatis. Dari segala upaya yang belum pernah dilakukan adalah KLB atau Kongres Luar Biasa. Padahal KLB adalah jalan yang lumrah, legal dan mengikat bagi semuanya. Kesadaran bersama dan kebesaran hati semua pihak amat diperlukan untuk terselenggaranya KLB yang bermutu, demokratis dan memiliki legitimasi. Di KLB segala hal bisa dibicarakan, disepakati dan kemudian menjadi sah karena mengikat terhadap semua "stakeholders". KNPI tak lagi perlu dikerdilkan oleh Kongres Ancol maupun Bali. Mengapa harus terus mencari jalan lain, sementara jalan yang jelas dan terang benderang lewat KLB yang sesungguhnya benar-benar ada dan terbuka?. Tugas pemerintahlah memberikan fasilitasi secara tulus dan memberikan mandat penuh, pada kedaulatan OKP/DPD yang memastikan bebas dari korupsi dan kepentingan politik seperti sekarang ini. Polemik Forum Bandung Forum silaturrahim KNPI di Bandung, 8-9 Februari 2009, masih menuai kontroversi. Bahkan, legitimasinya sebagai forum yang aspiratif dan refresentatif tetap dipertanyakan. Meskipun demikian, adanya silaturahim dan komunikasi terbuka di kalangan pimpinan pemuda yang berhimpun di KNPI merupakan langkah maju dan menjadi jembatan baru bagi solusi yang lebih menyeluruh. Ada niat baik dan upaya bersama menuju solusi bersama dari berbagai pihak termasuk pemerintah. Meskipun, hasilnya tetap menyisakan pro-kontra, seakan ada menang dan kalah, yang seharusnya dipandang sebagai proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Pada dasarnya, KNPI bisa melahirkan harapan baru, pembaruan dan sebuah peran besar dan strategis kepemudaan di Indonesia dalam mengisi momentum perubahan. Bahkan, lebih elegan, bagaimana agenda strategis dan skenario besar buah dari pemikiran, idealisme dan visi kaum muda dapat mewarnai perjalanan bangsa ke depan, sebagai sebuah alternatif dan melahirkan kepercayaan baru yang lebih baik. Sebelum forum berlangsung, saya mengusulkan jalan ishlah terbaik dan "win-win solution" demi Satu KNPI dan masa depan negeri adalah mengembalikan kedaulatan ke tangan OKP dan DPD KNPI melalui Tim Rekonsiliasi yang sudah disepakati yang bisa disebut Tim Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi (TKKR). Opsi keputusan, pertama model Presidium DPP KNPI plus akomodasi semua kandidat (Kombinasi Bali dan Ancol) hingga akhir periode. Kedua, model Presidium DPP KNPI plus akomodasi semua kandidat (Kombinasi Bali dan Ancol) sampai Kongres Luar Biasa (KLB) dalam masa 1-2 bulan. Ketiga, dibentuk Presidium Panitia Bersama KLB oleh Tim Rekonsiliasi dan Perwakilan DPD KNPI regional dengan agenda utama adalah konsensus AD/ART sebagai payung bersama hasil dua Kongres, akomodasi peserta OKP Kongres Bali dan Ancol digabungkan sebagai peserta KLB dan penjaringan serta seleksi kandidat Ketum KNPI dengan jujur, demokratis dan terbuka untuk semua potensi dengan menimbang visi, misi, integritas, pengalaman dan tawaran agenda pembaruan KNPI yang lebih berani dan progresif. Solusi ketiga sebenarnya lebih fundamental, terhormat bagi semua, edukatif, tercerahkan, legal dan prospektif bagi KNPI ke depan. Namun, apa yang terjadi di Bandung, kembali tak membuahkan hasil mufakat yang tulus. Karena, terulang terus nuansa kepentingan pribadi dan kelompok yang lebih mengemuka. Aroma kepentingan bersama dan spirit bersama untuk menyelesaikan masalahnya memang tak muncul sebagai proses rekonsiliasi sejati. Produk Kongres Bali akhirnya dimenangkan dibanding produk Kongres Ancol. Pertanyaan berikutnya, bagaimana sebuah Kongres, baik Bali ataupun Ancol dapat diamputasi dengan sebuah forum yang bernama silaturahim?. Bukankah forum silaturrahim itu bersifat informal. Bagaimana bisa melahirkan sebuah keputusan yang melahirkan pemilihan Ketua Umum yang sah yang menjadi salah satu agenda Kongres, bahkan menggantikan atau menghapuskan legitimasi Kongres itu sendiri. Mengurai Benang Kusut Saat ini, konflik di tubuh KNPI bak benang sutra yang kusut. Jika salah mengurainya, mana pangkal dan ujungnya, tak akan ditemukan. Malah akan memutus benang-benang yang menjadi perekat dalam berhimpun di KNPI. Benang-benang itu adalah nilai persatuan, spirit persaudaraan, persahabatan dan kerjasama dalam kebhinekaan. Lagi-lagi di forum silaturrahim itu muncul kembali "anarkis", saling maki, saling hujat dan sempat mengalami jalan buntu. Segala ragam persepsi, resistensi maupun pandangan yang saling berbenturan tak menemukan titik temu yang bulat dan utuh. Lagi-lagi yang ikut berbicara adalah uang, uang dan uang. Yang ada adalah kepentingan berbagi kuasa, posisi strategis ataupun penguatan klik dan intrik. Masalah KNPI terjadi bukan semata karena intervensi pemerintah, malah lebih parah karena kondisi internal kepemudaan kita yang belum siap memasuki dinamika perbedaan dan belum adanya kematangan mengelola konflik. Pandangan terbuka yang paling jelas dan terang sebagaimana dilontarkan oleh Wapres Jusuf Kalla, bahwa KLB dapat menjadi jalan terbaik dan tuntas dalam penyelesaian KNPI. Setelah mencermati multidimensi masalah yang melilitnya, maka KLB adalah jalan yang terbaik. Dengan KLB, berarti memposisikan KNPI sebagai organisasi, bukan dengan jalan lain yang lebih bersifat politis atau kuat-kuatan, kalah atau menang. Alasan mengapa KLB menjadi pilihan terbaik adalah pertama karena KLB merupakan jalan konstitusional. KLB sebagai konsensus bersama, legal dan merupakan solusi akhir bagi penyelesaian masalah. KLB itu eksis secara material dan tertulis jelas dan terang dalam AD/ART. Sudah menjadi konvensi bagi setiap organisasi untuk mencari jalan alternatif atau semacam pintu darurat. Kedua, pada saat usai Kongres Bali dan Kongres Ancol mengklaim sebagai hasil kepengurusan DPP yang sah, jadilah sebuah realitas KNPI berwajah konflik ganda. Masing-masing melaksanakan pelantikan, berkantor di DPP KNPI, meluncurkan websitenya dengan mengibarkan bendera KNPI serta sama-sama menjalankan kegiatan formal sebagai DPP KNPI. Tentu, di kalangan DPD KNPI Provinsi, Kabupaten/Kota dan seterusnya hingga ke bawah akan mengalami kebingungan dalam forum Musyawarah Daerah untuk menentukan roda kepengurusan baru tiga tahunan. Mekanisme bagaimana OKP menjaring dan menentukan pilihan juga beragam, karena tak pernah ada validasi kepengurusan OKP secara sehat dan terkelola dengan baik. Ini pula yang harus menjadi bahan renungan, karena mekanisme dan otoritas DPD Provinsi dalam menentukan hak pilihnya di kongres bisa tidak aspiratif dengan daerah yang diwakili karena tidak ada mekanisme yang menggodok aspirasi potensi pemuda daerah, misalnya semacam konvensi pemuda daerah untuk menentukan pilihan Ketua Umum DPP KNPI. Alasan ketiga, kiprah kepemudaan di Tanah Air, dengan konflik KNPI yang berlarut-larut, juga mengganggu kenyamanan dinamika kepemudaan, termasuk persepsi dan citra pemuda Indonesia di mata internasional. Masih banyak pertimbangan menuju jalan dan lorong-lorong untuk menemukan cahaya bagi jalan keluar konflik KNPI. Segala pintu keluar bagi kondisi dan perkembangan KNPI dan Kepemudaan yang lebih baik di Indonesia masih terbuka lebar. KNPI memang dengan segala upaya wajib dipertahankan sebagai khazanah sejarah yang penuh makna menjadi satu-satunya wadah berhimpun pemuda Indonesia. KNPI satu atau pemuda Indonesia satu, bisa saja menjadi slogan dan tema heroik. Niat baik dan luhur menjaga segala warisan sejarah yang masih baik, sepantasnya dihormati. Namun demikian, dinamika dan perubahan zaman berbicara lain. Jalan reformasi dan tren kebutuhan akan hadirnya sebuah lembaga baru kepemudaan atau lembaga alternatif yang lebih nyaman, tenang dan menjanjikan bagi harapan masa depan yang lebih baik tak bisa dibendung lagi. Sebagai contoh, identitas ABRI dulunya yang amat powerful saja membubarkan diri dengan mereformasi namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). PDI Perjuangan tetap berkibar meskipun harus berganti nama dari hanya PDI seperti nama yang disandangnya semasa Orde Baru. Juga, lambang Partai Demokrat, berbentuk lambing mercy yang banyak digemari. Banyak perusahaan berganti nama dan juga logo, itu juga bukan berarti kiamat. Munculnya nama-nama baru yang lebih tren dan populer di kalangan anak-anak bangsa, bisa juga menyedot perhatian lebih dari sekedar KNPI yang mulai redup popularitas di kalangan anak muda gaul. Atau, KNPI cepat berani mengubah keadaan dirinya, penampilan, citra dan kiprahnya yang lebih nyata. Terutama, menjauhkan KNPI dari intrik, kepentingan dan nuansa politicking, segala yang serba politik. Eksistensi berbagai wadah formal asosiasi pemuda di mancanagera menjadi besar seperti All China Youth Federation (ACYF) di China, atau National Youth Council di Singapura, serta wadah sejenisnya harus melepaskan diri secara total dari warna dan wajah politik. Bukankah, organisasi sayap partai lebih tepat dan lebih dari cukup untuk menjadi ranah peran politik kaum muda? KNPI akan besar jika bersih dari politicking, menjadi "a civil society organization" yang kuat, solid dan profesional. Keadaan itulah yang tengah dihadapi, pemuda Indonesia berada di tengah arus perubahan, tantangan perubahan dan keadaan yang memaksa membuka mata hati dan kemampuan diri, untuk menaklukkan tantangan zaman berikutnya agar lebih maju dan unggul bersaing. Keberanian dan kecepatan untuk sadar dan berbuat demi perubahan zaman yang berlangsung amat cepat dan tak terduga, termasuk keberanian mengubah visi, misi dan orientasi KNPI dan alternatif munculnya wadah baru kepemudaan tanpa menghilangkan eksistensi historis KNPI.(*) ____ *) Penulis adalah mantan Sekretaris Jenderal KNPI, kini dipercaya sebagai Vice President Pemuda Asia Periode 2008-2011.

Oleh Oleh Munawar Fuad Noeh *)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009