Surabaya (ANTARA News) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan teguran kepada Depkominfo, terkait penayangan iklan pemilu yang ditayangkan sejumlah televisi, yang memuat narasi "dilanjutkan", karena menjadi slogan partai tertentu.

Ketua KPI, Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D. mengemukakan hal itu kepada wartawan di Surabaya, Sabtu, disela-sela menghadiri forum rapat bersama antara Depkominfo dan KPI Provinsi Jatim.

"Ketika saya sedang diskusi di Semarang, kemudian ada laporan kalau banyak komplain ke KPI yang mengeluhkan iklan Depkominfo yang di bagian terakhirnya ada narasi tersebut," katanya.

Sasa mengistilahkan kalau iklan Depkominfo tersebut sebagai iklan topi, karena ada sejumlah versi.

"Kalau saya menyebutnya iklan versi topi, simbol-simbol topi ini mengambarkan konflik, ada topi HKTI, topi sekolah dasar. Itu sebenarnya ndak ada masalah, yang menjadi masalah pada bagian terakhirnya," katanya menjelaskan.

Bagian terakhirnya, lanjut dia, menyebutkan kabinet Indonesia bersatu yang berarti pemerintahan sekarang, kalau pemerintahan sekarang berarti siapa presidennya, kemudian apa partainya.

"Kemudian ada kata-kata yang sudah menjadi ikon atau slogan dari partai tertentu, Partai Demokrat kasarnya, lanjutkan, ditambah narasi garis merahnya. Kemudian ada reaksi kalau iklan yang dibiayai APBN tersebut telah diintervensi parpol tertentu," katanya.

Karena ada reaksi tersebut, kata sasa, pihaknya langsung rapat kemudian memberikan surat teguran kepada Menkominfo, dengan tembusan kepada lembaga penyiaran.

"Interpretasi orang tidak bisa disalahkan. Dirjen di Depkominfo bilang iklan tersebut akan ditarik, karena sekarang hari Sabtu, mungkin Senin baru ditarik. Sebetulnya yang agak gawat pada narasi terakhirnya," katanya menegaskan.

Sasa mengemukakan, kalau memang Depkominfo mau menggunakan anggaran untuk sosialisasi, sebenarnya materinya bisa berisi ajakan untuk mencentang dan bagaimana caranya, karena sosialiasinya masih kurang.

"Kalau Depkominfo bikin iklan sebenarnya yang seperti itu, jangan berorientasi ke kepentingan partai tertentu," katanya.

Sementara itu, Menkominfo, Muhammad Nuh yang ditemui pada kesempatan yang sama, mengatakan, bukan berarti dirinya tidak mempertimbangkan dampak penayangan iklan tersebut, namun pihaknya tetap mempertimbangkan.

"Memang masa-masa sekarang ini masa yang `hyper` sensitif, setiap kata bisa diasosiasikan ke kepentingan politik tertentu. Kalau berfikir biasa-biasa, kata lebih cepat lebih baik, lanjutkan, hidup adalah perbuatan, adalah kata-kata biasa saja, kalau kalau nggak ya harus dihapuskan dari kosa kata Bahasa Indonesia," katanya.

Nuh mengatakan, memang yang mempunyai hak menilai adalah KPI dan KPID. "Kalau KPI sudah mengajukan teguran dan sebagai wujud ketaatan hukum, Depkominfo juga menghargai apa yang disampaikan KPI," katanya.

Menurut dia, iklan tersebut memang dijadwalkan tayang selama memang sepekan, dengan seri berbeda-beda mulai dari pendidikan, kesehatan, dan hukum.

"Karena KPI memberikan catatan tentang kata itu, ya diubah. Tetapi yang namanya capaian pemerintah harus di-`promote`, kita juga harus mem-`promote`, ada yang sifatnya tahunan, empat tahunan dan lima tahunan. Depkominfo dengan senang hati mengikuti keputusan KPI. Kalau pemerintah tak menghormati, siapa lagi," katanya. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009