Jakarta, (ANTARA News) - Ada tragika di kubu "The Reds". Balatentara Liverpool bersama panglima Rafael Benitez maju ke medan tempur justru bermodalkan amunisi cinta, bukan berbekal naluri membunuh.

Padahal, lawannya "The Blues" tengah mengendus semerbak aroma kemenangan menghadapi leg kedua perempat final Liga Champions, Rabu (15/4) dini hari WIB.

Chelsea kini menjamu Liverpool di Stadion Stamford Bridge. Pasukan asuhan juru taktik asal Belanda Guus Hiddink itu tengah mengerek bendera optimisme. Tidak ingin kalah gertak. Optimisme juga tengah membelai hati skuad asuhan pelatih asal Spanyol Rafael Benitez. Ini bukan optimisme versus optimisme, melainkan langkah
mengoplos mitos dalam laga bola.

Mitos mengaktifkan dan menghidupkan kembali secara aktual apa yang pernah terjadi. Baik Rafa maupun Hiddink menggenggam mitos yang tersirat dan tersurat dalam syahwat kekuasaan - meminjam artikulasi filsuf Nietzsche - sebagai hasrat untuk berkuasa (Wille zur Macht). Kedua pelatih yang berlabuh di dermaga Liga Inggris itu tengah menyambangi kata kunci mitos yakni kepahlawanan.

Liverpool merindukan nostalgia, sementara Chelsea memanggil kepercayaan diri. Kedua tim memandang kemenangan sebagai totem. Dalam ranah antropologi, totem dipandang sebagai kepercayaan bahwa nenek moyang suatu suku berasal dari suatu jenis binatang atau tumbuhan. Boleh jadi totemisme tengah merasuk di jantung bola.

Kalau kemenangan dipandang sebagai totem, yang dijaga, diperjuangkan, dilindungi, dan dipelihara; maka upacara khusus perlu dilakukan dalam sebuah pertandingan berlabel Liga Champions. Baik The Reds maupun The Blues tengah terlibat dan terlilit dalam upacara mengarak keberanian, mengusung kepahlawanan dan kepercayaan diri.

Liverpool dan Chelsea tengah mengoplos mitos. Implikasinya, kedua tim membuang pepatah lama bahwa beriak tanda tak dalam, berguncang tanda tak penuh. Keduanya tengah menanti bobot suatu kenyataan (accent of reality) yang muncul secara berbeda dalam kondisi yang berbeda pula, karena ada segi yang ditambahkan dan ada segi yang dicampakkan dalam memandang realitas.

Laga dua raksasa Liga Inggris itu mendekonstruksi realitas dalam laga bola dengan mengajukan pertanyaan kritis, apakah perbedaan identik dengan antagonisme? Kalau ada antagonisme, apakah dia harus membawa kepada konflik? Kalau ada konflik, apakah konflik dengan sendirinya membawa kepada permusuhan, mengaitkan ketertutupan diri?

Rafa lebih dulu memberi jawaban dengan menyodorkan cinta, meski skuad asuhannya telah menelan kekalahan 1-3 atas pasukan Meneer Hiddink pada leg pertama di Anfield. Rafa ingin bernostalgia dengan kemenangan dramatis pada final 2005 di Istanbul, Turki.

"Itu hasil bagus dan bisa membantu. Jika kami mendapat banyak dukungan dari suporter dan dapat memberikan hasil baik sejak awal, maka itu akan menjadi inspirasi yang baik bagi tim," kata pelatih asal Spanyol tersebut.

Sedangkan, Hiddink menjawab dengan bernas, "Jika anda tengah merasakan semangat perlawanan di dalam sebuah tim, maka naluri itu perlu terus dikobarkan. Jika sebuah tim memiliki naluri seperti itu, maka tim itulah yang beroleh kemenangan."

Komentar Hiddink bukan isapan jempol belaka. Chelsea bersama Barcelona diibaratkan sebagai lokomotif yang tengah melaju kencang. Namun ada setitik keyakinan di lubuh hati Benitez, karena ada sejumput realitas bahwa Chelsea kebobolan tiga gol ketika meladeni Bolton Wanderers, Sabtu (11/4).

Meski The Blues akhirnya meraup kemenangan 4-3. Pundi-pundi gol itu menunjukkan bahwa siapa pun bisa membobol gawang Petr Cech di Stamford Bridge. "Orang telah menganggap kami kalah. Kami tanpa beban, sehingga kami bisa bermain positif, rileks dan semoga tak melakukan kesalahan lagi," kata Benitez.

Di seberang kata hati Liverpool, ada sebungkah realitas yang terbalut dalam rekor pertemuan Liga Champions, yakni Chelsea telah menang tiga kali, imbang empat kali, sedangkan Liverpool menang dua kali. Sementara ada memori mengenai lima duel terakhir di Stamford Bridge: pada 26-10-2008 Chelsea 0 - 1 Liverpool (EPL), 30-04-2008 Chelsea 3 - 2 Liverpool (LC), 10-02-2008 Chelsea 0 - 0 Liverpool (EPL), 19-12-2007 Chelsea 2 - 0 Liverpool (Piala Liga), 25-04-2007 Chelsea 1 - 0 Liverpool (LC).

Ada labirin duka bagi Liverpool. Kemenangan besar-besaran bukan hal yang mentradisi bagi Liverpool di kubu Chelsea. Meski "The Kop" telah mematahkan rekor tak terkalahkan pada 86 laga kandang "The Pensioners", September silam.

Benar pula bahwa mereka pernah menang dalam pertarungan di Januari 2004. Dua-duanya berakhir dengan skor 1-0. Masalahnya, menang dengan satu atau dua gol saja tidak cukup. Agar bisa lolos tanpa adu penalti, Liverpool dituntut unggul dengan selisih minimal tiga gol. Mungkinkah?

Kolumnis BBC Sport, Alan Hansen menulis bahwa tugas Liverpool kali ini sungguh bernuansa mega, bahkan berhimpitan dengan ketidakmungkinan. Faktor Didier Drogba memegang kunci. Penampilan pemain asal Pantai Gading itu kian bersinar, mendekati brilyan. Aksinya kian aduhai, tentunya berkat polesan tangan dingin Hiddink.

Belum lagi dengan atraksi keteguhan dan ketangguhan dari Michael Essien seperti ditunjukkan dalam penampilannya pada pertandingan pekan lalu. Aksi Michael Ballack pun tidak boleh dipandang sebelah mata. Acungan jempol juga pantas diberikan kepada Salomon Kalou and Florent Malouda. Lengkaplah sudah pekerjaan rumah bagi Liverpool.

Di mata Hansen, aksioma bagi sukses sebuah tim, yakni "Big Time + Big Players + Big Manager". Baik Chelsea maupun Liverpool sama-sama memboyong rumusan itu. Meski The Reds perlu ekstra belajar dari kekeliruan pada leg pertama. Dan jawabannya, ada dalam diri Steven Gerrard.

Sebagai sebuah tim, apakah Liverpool telah mengamini sebuah "permainan" (play), artinya mengatakan Ya kepada yang akan datang, mengujarkan Ya kepada yang tak terduga.

Atau, The Reds justru terjerambab dalam "gerak mundur tak terbatas" (regressus ad finitum). Inilah laga dekonstruksi yang dihadapi pasukan Benitez. Yang menyeramkan justru ada skenario bahwa hampir 97 persen kemenangan berada di kubu Chelsea.

Yang menarik, ketika Chelsea dan Liverpool mengoplos mitos, ada kecintaan yang menghujani kebijakan bahwa "aku tahu, bahwa aku tak tahu". Yang tertinggal hanyalah tawa terhadap "rapuhnya rasio" (fragility of reason). Ini adalah senyum di hadapan hal yang tidak mungkin, karena di seberang sana yang tersisa hanyalah "yang akan datang".

Dengan kata lain, dekonstruksi adalah peneguhan atas ketidakmungkinan. Maaf... Liverpool ingin terus berdialog, bukan mengenakan "Kacamata Kuda" untuk melihat realitas yang serba terbuka, terpampang secara terang benderang.

Ketika Chelsea menjami Liverpool, ada spanduk terbentang, bahwa "kekuasaan yang banyak memerintah justru di situlah letak kelemahannya." Tinggal sekarang, mewaspadai krisis kepercayaan!(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009