Yogyakarta (ANTARA News) - Pemenuhan hak buruh di Indonesia masih jauh dari harapan karena banyak faktor yang mempengaruhinya terutama kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan politik.

"Kebijakan pemerintah yang kadang kala menjiplak aturan negara lain berimbas pada perekonomian nasional dan menumbuhkan praktik curang dalam berwirausaha," kata pengurus Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia dan Bantuan Hukum (LABH) Sri Waryanti di Yogyakarta, Minggu.

Selain itu, perlindungan hukum yang berujung pada kepastian hukum masih diskriminatif serta tidak melihat fakta dan kondisi sumber daya manusia di Indonesia, khususnya buruh.

"Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan yang diharapkan sebagai perlindungan bagi buruh ternyata tidak lebih dari sekadar bacaan. Peluang untuk melakukan praktik perdagangan manusia memberikan kontribusi bahwa buruh dapat diperlakukan sebagai objek yang dijadikan `budak` bagi pengguna jasanya," katanya.

Padahal, menurut dia, Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitas. Populasi penduduk di Indonesia terus berkembang sehingga membutuhkan lapangan pekerjaan yang lebih banyak, baik di sektor formal maupun informal.

Sebagai bentuk usaha dalam pemenuhan lapangan pekerjaan, Indonesia membuka diri terhadap pemodal baik domestik maupun internasional dan dibarengi dengan peraturan ketenagakerjaan.

"Namun, pembukaan lapangan pekerjaan dan aturan hukum ketenagakerjaan tidak serta-merta memberikan kepastian hukum bagi pihak yang terkait dengan ketenagakerjaan khususnya buruh," katanya.

Ia mengatakan jaminan negara untuk memberikan hak buruh agar mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak seharusnya diberikan kepada buruh termasuk perlindungan fisik, psikis, dan hukum.

"Oleh karena itu, dibutuhkan upaya semua pihak terutama pemerintah yang mempunyai otoritas khusus sebagai pelaksana dan pengawas dari UU agar praktik perdagangan manusia yang dilegalkan dan penyiasatan aturan hukum penolakan pemenuhan hak buruh dapat dihindari," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009