Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Komisi I DPR, Theo L Sambuaga menyatakan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki semua angkatan di lingkup Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah sangat parah dan benar-benar memprihatinkan.

"Kecelakaan beruntun yang dialami beberapa pesawat angkut milik TNI Angkatan Udara (AU) sejak Januari 2009, dan yang terbaru tadi pagi menewaskan hampir 90 prajurit, termasuk seorang berpangkat marsekal (jenderal) beserta beberapa keluarga sipil mereka, mencerminkan betapa parahnya alutsista TNI kita itu," katanya di Jakarta, Rabu.

Komisi I DPR, katanya, telah berulang-ulang mengingatkan kepada Pemerintah RI agar jangan mengabaikan perbaikan dan pengadaan alutsista.

"Benar ada prioritas untuk sektor-sektor ekonomi tertentu, tetapi keadaan yang alutsista kita yang sebenar-benarnya sudah sangat parah," katanya.

Dengan menyampaikan rasa berduka sedalam-dalamnya kepada pihak keluarga korban jatuhnya pesawat Hercules itu, Theo mendesak Pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh atas seluruh alutsista milik TNI.

"Kali ini tidak ada tawar menawar lagi. Semua alutsista wajib diaduit, apakah itu pesawat angkut, patroli, tempur (di lingkup TNI AU), atau di jajaran TNI Angkatan Laut (AL) seperti kapal angkut, patroli, tempur, pemburu, radar dan lain-lain. Termasuk di lingkungan TNI Angkatan Darat (AD) berupa kendaraan taktis (Rantis) dan seterusnya," ujarnya.

Hasil audit itu, katanya, harus segera diketahui, untuk memastikan mana alutsista berusia tua yang tidak lagi layak operasional dan harus dibesituakan saja.

"Jangan lagi dipaksa-paksa alutsista tua diperbaiki seadanya lalu dioperasikan secara nekat. Kalau memang kondisi pesawat itu masih memungkinkan, bisa dioperasikan dengan beberapa catatan atau metode khusus," katanya.

Menurut dia, tahun 2009 terjadi penurunan anggaran sekitar delapan hingga 10 persen dibanding 2008, sehingga sektor pertahanan negara hanya memperoleh Rp35 triliun.

"Untuk kebutuhan esensial minimum atau `miminum essential requirements` (MER) saja kita butuh minimal Rp100 Triliun. Jadi, dari MER itu, ditekan lagi anggarannya pada jumlah yang hanya bisa membiayai kualitas di bawah minimal. Ini benar-benar memprihatinkan dan sangat parah keadaannya," ujarnya.(*)

 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009