Jakarta (ANTARA News) - Hanya jejak serpihan-serpihan informasi masa lalu dan pernyataan yang bisa digunakan untuk menelusuri ke arah mana pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono ingin membawa perekonomian Indonesia.

Sebab Capres dan Cawapres yang berkompetisi sejak era reformasi hingga kini belum memberikan dengan jelas arah itu.

Dalam setiap kesempatan berkampanye janji kesejahteraan yang ditawarkan. Program perekonomian konkret seperti masalah pajak, privatisasi, subsidi dan seperti apa postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) belum terelaborasi.

Seperti berita akhir-akhir ini tentang tiga pasangan capres dan cawapres. Baik Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), SBY-Boediono (SBY Berbudi) dan Megawati-Prabowo (Mega-pro) masih sebatas mengutarakan tentang angka pertumbuhan ekonomi yang hendak diraih.

JK-Win mematok angka pertumbuhan ekonomi delapan persen, SBY Berbudi memilih angka tujuh persen, sementara Mega-Pro menargetkan 10 persen.

Namun bagaimana meraihnya? Bagaimana cara membiayainya? Apakah itu berarti akan mendorong investasi dengan menghapus pajak (Tax Holliday) ? Memberikan stimulus untuk investasi asing? Berupa apa? Akankah investor asing bebas berkeliaran? Akankah ada privatisasi? Ataukah memperbesar peran negara dalam perekonomian? Seperti apa? Apakah negara akan membentuk bidang usaha baru? mendorong banyak penciptaan lapangan kerja? bagiamana caranya? itu baru segelintir pertanyaan di balik angka tersebut.

Apakah rakyat peduli angka pertumbuhan ekonomi itu? apakah rakyat ditempatkan sebagai subjek dan objek kebijakan? ataukah hanya menjadi objek dari setiap kebijakan?

Tampaknya debat baru-baru ini hanya memuaskan minoritas masyarakat melalui komoditas berita sensasional saja dibandingkan apa yang akan dilakukan ketiga calon tersebut untuk rakyatnya.

Kembali ke SBY-Boediono, meski pasangan itu belum memberikan gambaran yang lebih detail tentang kebijakan ekonomi di masa mendatang. Namun meneropong seperti apa kebijakan apa yang dilaksanakan tidak ada salahnya.
kapitalis

Menjadi kapitalis, sepertinya telah berurat akar dalam tubuh bangsa ini. Meski di awal kemerdekaan paham ini dijauhi oleh semua pemimpin. Para pemimpin `emoh` dengan paham kapitalis karena paham ini telah mengakibatkan terjadinya penjajahan.

Secara teori, penjajahan merupakan salah satu tingkatan dalam kapitalisme. Paham yang menganut kebebasan para pemilik modal untuk berusaha meningkatkan keuntungannya telah menyebarkan penjajahan dimuka bumi.

Kapitalisme mendorong para pemilik modal meningkatkan keuntungannya dengan memeras negar-negara lain. Indonesia mengenal VOC, sebuah kongsi dagang asal Belanda yang menjajah Indonesia. Kesengsaraan melanda bangsa ini ketika VOC berkuasa.

Mereka (VOC) memaksimalkan laba, dengan menjadikan para pribumi kuli kontrak dengan upah buruh minimum, bahkan menjadi budak seumur hidup. Fase yang seringkali disebut sebagai fase kapitalisme primitif. Hal itulah yang meletupkan keinginan merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kapitalisme.

Namun kini bandul telah berubah. Percobaan sosialisme di era Presiden Soekarno setelah Indonesia merdeka mengalami kegagalan. Sosialisme Indonesia kala itu ternyata justru menghasilkan pemerataan keimiskinan. Hanya segelintir pejabat yang menikmati kemewahan.

Sosialisme era itu hanyalah dengungan tanpa arah. Presiden bahkan seperti kebingungan untuk merencanakan perekonomian. Isu politik lebih mengemuka sedangkan rakyat justru ditelantarkan.

Indonesia lebih memilih membangun Monas, Istiqlal dan semua yang serba besar untuk menunjukan kebesaran negaranya dibandingkan membangun kesejahteraan rakyatnya.

Soeharto naik menggantikan Soekarno. Kali ini, berbeda dengan Soekarno, Soeharto lebih banyak memperhatikan perihal perekonomian. Bila Soekarno menjadikan politik sebagai panglima, maka Soeharto sebaliknya, menjadikan ekonomi sebagai panglima.

Bandul perekonomian berayun ke kanan. Dari sosialisme menuju kapitalisme. Soeharto pun merancang berbagai kebijakan ekonomi yang pro dengan para penanam modal.

Mengendalikan inflasi tinggi yang ditinggalkan oleh Presiden Soekarno, Soeharto membuka diri terhadap produk-produk dan modal asing. Hasilnya memang cukup menggembirakan, inflasi bisa diturunkan secara cepat dan pasokan barang tersedia.

Namun efek buruk kapitalisme jilid II setelah era penjajahan masih melekat kuat.

Produksi dalam negeri tersingkir, modal asing dinilai menyingkirkan kemandirian bangsa dan kesenjangan si miskin dan si kaya semakin melebar.

Puncaknya badai krisis yang awalnya dari melemahnya mata uang baht Thailand datang menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok, dari sekitar Rp2.000 per dolar AS melonjak hingga Rp16.000 per dolar AS. Tatanan kapitalis di Indonesia goyah. Utang luar negeri yang saat itu menjadi poros penggerak utama perekonomian membengkak.

Banyak perusahaan kolaps, yang akhirnya membuat Presiden Soeharto menandatangani perjanjian utang dengan international monetary fund (IMF) yang menginginkan kapitalisme lebih dalam yang lebih liberal.

Pemerintahan Soeharto berakhir, namun sistem kapitalis terus melaju. Kapitalisme tetap masih menjadi sistem ekonomi dominan yang diacu, bahkan oleh negara-negara komunis. "

Sosialis telah bangkrut" ungkapan para pengamat ekonomi menanggapi era baru dominasi sistem kapitalis.

SBY-Boediono

Pasangan SBY-Boediono tentu saja tidak akan menjauh dari sistem ekonomi kapitalisme yang ramah pasar. Sebab pasar dalam perekonomian kapitalis saat ini merupakan daya dorong pertumbuhan ekonomi.

Karena sosok Boediono yang merupakan ahli ekonomi dan pernah menduduki berbagai jabatan di kementrian ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia tersebut maka diperkirakan menjadi gagasan ekonomi utama pasangan SBY-Boediono.

Sosok Boediono sampai dengan saat ini menurut berbagai analis dan pengamat serta para pelaku pasar mampu memberikan kepercayaan. Dengan kata lain, Boediono merupakan sosok yang diterima oleh pasar.

Pasar bereaksi positif ketika Boediono baru saja diangkat menjadi menteri perekonomian layaknya tangan-tangan tak terlihat.

Indeks kala itu menguat 19,926 poin dan rupiah menguat ke level di bawah Rp10.000 per dolar AS. Beberapa media menyebutkan hal itu merupakan respons kepercayaan pasar atas reputasi Boediono.

Menurut BussinessWeek, Boediono telah membuat rupiah mampu menguat, meningkatkan cadangan devisa, menurunkan tingkat pelarian modal, dan memacu pertumbuhan ekonomi menjadi empat persen.

"Terima kasih pada Boediono, negara ini (Indonesia) tidak lagi berada dalam jalur krisis dan memiliki kesempatan untuk menyembuhkan penyakit yang kronis," tulis BussinesWeek dalam tinjauannya kepada Boediono Juni 2003, ketika memberikan penghargaan sebagai salah satu menteri keuangan terbaik Asia atau Bintang Asia.

Boediono merupakan pendukung kebebasan aliran modal keluar masuk suatu negara. "Keketatan likuiditas valuta asing dirasakan semua negara, dan terjadi `deleveraging` kembali ke kandang tempat modal berasal. Dan adanya uang yang masuk (dari luar ke Indonesia) sudah bagus, jangan dipikir `hot` atau `cold`. Itu semua akan jadi pelumas kegiatan ekonomi dalam negeri," katanya.

Sebagai penganut paham kapitalis, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu penjabarannya. Para penganut pasar bebas, pertumbuhan ekonomi menunjukan kinerja perekonomian yang nantinya mempunyai dampak ikutan (efek mentes ke bawah). Dengan pertumbuhan ekonomi tinggi berarti akan ada banyak investasi, yang berarti akan ada lapangan pekerjaan, dan pendapatan masyarakat.

Dengan demikian, diharapkan keuntungan ekonomi juga akan menetes ke rakyat bawah melalui pendapatan yang diberikan perusahaan.

Untuk itu, maka menghalangi modal dan produk asing masuk untuk berinvestasi dan dijual di Indonesia merupakan tindakan yang tidak menguntungkan. Sebab dengan adanya modal asing dan produk asing tersebut maka akan tercipta investasi baru dan persaingan.

Kompetisi pada akhirnya juga akan berdampak positif, sebab hal ini akan memicu efisiensi dan efektifitas yang pada gilirannya bisa menurunkan tingkat harga.

Agar terjadi persaingan sempurna maka peran pemerintah berupa subsidi bagi produk dalam negeri dihapuskan, sebab hal ini akan menjadikan persaingan tidak imbang.

Akibat kebijakan ini, biasanya pengusaha-pengusaha lokal serta petani terkena dampaknya. Seperti pasar tradisional cukup sulit bertahan bila diserbu oleh Carrefour, Hypermart atau Indomaret. Harga-harga hasil pertanian luar negeri yang lebih murah membuat para petani lokal tergencet.

Boediono meski menghargai pasar, namun tetap memerlukan ketegasan dari pemerintah sebagi pembuat peraturan sekaligus wasit dalam perekonomian.

Bagi Boediono, pasar yang liar memiliki potensi merusak seperti krisis keuangan AS.

Dengan regulasi yang sangat longgar, membuat perekonomian rentan akan terjadinya krisis.

"Harus selalu ada intervensi dari pemerintah dengan aturan jelas dan adil," katanya saat acara deklarasi capres dan cawapres SBY-Berbudi di Bandung Jumat malam (15/5).

Menurut Gubernur BI itu, untuk mengatur perekonomian diperlukan lembaga pelaksana yang efektif meski negara tidak boleh banyak campur tangan dalam perekonomian karena akan mematikan aktivitas bisnis.

"Tetapi pemerintah juga tak boleh tidur, untuk itu perlu pemerintahan yang bersih," kata Boediono.

Namun, menurutnya pemerintahan yang bersih tidak hanya bisa dilakukan dengan pidato, tetapi harus dengan teladan dari pemimpinnya.

Ia mengingatkan harus ada garis pemisah yang jelas antara kepentingan bisnis dan penyelenggaraan pemerintahan.

"Saat ini kita tidak hanya harus melawan penjajahan dari kekuatan luar namun juga dari dalam, karena semua itu membuat kita terpuruk dan bangkrut," kata Boediono.

Boediono juga mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak dikotori oleh suap dan tidak mau memperdagangkan kekuasaan. "Indonesia butuh pemimpin yang tidak mencampuradukkan kepentingan republik dengan kepentingan bisnis keluarga," kata Boediono.

Ketika menjadi menteri koordinator perekonomian, melihat inflasi merupakan salah satu momok yang harus dikendalikan. Untuk itu menurut dia, menurunkan tingkat inflasi merupakan salah satu kebijaskan yang penting.

Disisi lain, Boediono juga merupakan salah satu pendukung peran pemerintah dalam pembangunan terutama untuk menggerkan sektor riil melalui pembangunan infratsruktur.

Adanya kelemahan pasar dalam menyediakan infrastruktur membuat negara harus bertindak.

Hal ini menurut dia akan menggerakan perekonomian.

Peran serta negara dalam menyejahterakan rakyat dinilai perlu melalui program yang langsung ditujukan kepada masyarkat miskin, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Pada akhirnya Boediono merupakan penganut pasar yang lebih pragmatis dan fleksibel dalam menjalankannya terutama guna mendorong perekonomian sekaligus mengurangi tekanan inflasi pada masayarakat miskin.(*)

Oleh oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009