Jayapura (ANTARA News) - Keberadaan PT.Freeport Indonesia yang beroperasi di sebagian besar daerah potensial logam di Pegunungan Tengah, Provinsi Papua hingga kini belum dapat ikut mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan.

"Re-negoisasi kontrak karya Freeport yang telah berlangsung dua periode sejak 1967 harus dapat memberikan perubahan untuk masyarakat Papua tetapi ternyata hal itu belum terwujud," kata Ketua Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Aria Aditya Setiawan di Jayapura, Selasa.

Pendapatan dari Freeport lanjutnya, ditambah dana Otonomi khusus (Otsus) setidaknya bisa dikelola dengan baik guna menjawab tantangan pemerintah tentang keadilan yang selama ini ditanyakan atas Papua dan kondisi masyarakat lokal.

Pertanyaan kritis adalah, apakah Freeport sendiri belum memberikan perhatian secara penuh untuk ikut meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua ataukah masyarakat dan pemerintah setempat belum mampu mengelola dan memanfaatkan dana yang sudah diberikan Freeport kepada rakyat Papua selama ini.

Penduduk asli Papua yang hanya mengenal jenis modal terdepan dan ekonomi kas dalam waktu kurang dari satu generasi, menderita karena kurangnya pelatihan dan akses terhadap modal. Mayoritas penduduk Papua masih mengandalkan pertanian yang sederhana dan berburu yang hasilnya tidak bisa berkompetisi dengan ekonomi lokal dan nasional.

Sementara itu, PT.Freeport merupakan salah satu perusahaan asing yang beroperasi melalui Kontrak Karya (KK) di wilayah Papua dan merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar yang memberikan devisa bagi negara melalui penambangan emas dan tembaga di Timika.

Selama periode KK I tahun 1973-1991, perusahaan pertambangan yang berinduk pada Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. ini telah mendapat laba 1,1 milyar dolar AS. Sementara untuk kas Indonesia, Freeport hanya menyetor 138 juta dolar AS dalam bentuk deviden, royalti dan pajak atau sekitar 12,54 persen.

Dengan bekal KK II, selama 30 tahun ke depan, areal penambangan Freeport terus melebar hingga ke Deep Area, DOM dan Big Gossan yang sudah siap dieksploitasi. Sedangkan daerah Kucing Liar serta Intermediate Ore Zone (IOZ) masih dieksplorasi.

Lebih lanjut Aria menyatakan, walaupun Freeport telah melakukan investasi senilai 4,5 milyar dolar AS, hanya sebagian kecil dari investasi tersebut berpengaruh langsung pada ekonomi lokal.

Diantara penyebabnya adalah gaji dan berbagai kompensasi yang dibayarkan kepada masyarakat non-Papua tidak berpengaruh pada ekonomi lokal karena para pekerja mengirimkan sebagian besar gajinya ke negara asal atau ke luar Papua.

Selain itu, mayoritas dari perusahaan sub-kontraktor beroperasi di Jakarta dan mengimpor peralatannya dari luar Papua.

Sebagai contoh, tembaga dari Garsberg dikirim dan diproses di perusahaan pengolahan hasil kerja sama Mitsubishi dan Freeport di Gresik, Jawa Timur dengan nilai kontrak 700 juta dolar AS.

"Pemberian tersebut mungkin merupakan keputusan bisnis yang benar, tapi dari sudut pandang orang Papua, mereka kehilangan sebuah kesemmpatan," kata Aria.

Namun demikian, sejauh ini Freeport terus melakukan usaha untuk memberikan pelayanan sosial dan memperbaiki kualitas hidup penduduk yang tinggal di daerah operasi penambangan dengan melakukan skema reinvestasi dan beragam program pengembangan.

Hal tersebut ditujukan untuk pendidikan, kesehatan, usaha kecil dan pembangunan infrastruktur untuk tujuh suku Papua yang berdiam di daerah operasi, termasuk Suku Amungme dan Komoro.

Freeport tampaknya masih akan lama bercokol di Tanah Papua dengan adanya kontrak untuk kegiatan tambang Garsberg yang berlaku sampai 2021 dengan opsi memperpanjang perjanjian hingga 20 tahun kemudian.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009