Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Pasar Modal, Poltak Hotradero, mengungkapkan, Indonesia merupakan sebuah negara yang ekonominya sudah berbentuk secara spesisfik.

"Ekonomi Indonesia sudah punya `picture` (gambaran) tersendiri. Ibaratnya, seperti mobil VW (vorkswagen) kodok, bangungan, desain, isi dan kekuatannya sudah terbentuk. Jadi sulit jika ingin digunakan untuk balapan ataupun dibawa ke hutan," ungkapnya pada talkshow menelaah visi ekonomi capres dan cawapres di Intiland Tower, Wisma Dharmala Sakti, Jakarta, Kamis.

Desain ekonomi Indonesia kata pengamat Pasar Modal itu telah diatur dalam Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, utang Indonesia tidak boleh bertumbuh lebih besar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, total defisit anggaran tidak boleh lebih besar daripada tiga persen PDB (Produk Domestik Bruto) serta rasio utang total terhadap PDB tidak boleh melebihi 60 persen.

"Itulah kerangka ekonomi Indonesia. Jadi bagaimana bisa visi capres yang akan mengubah secara radikal konsep ekonomi Indonesia tanpa berbenturan dengan konstitusi," katanya.

"Konstitusi sudah menyaratkan rambu-rambu itu sehingga jika suatu visi ekonomi yang dijanjikan itu bertolak belakang, berarti dilakukan secara inkonstitusional," ungkap Poltak Hotradero.

UU keuangan Negara tersebut kata dia, bukan mengekang pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi hanya sebagai kontrol agar pemerintah menggunakan `budget` (angaran) seefisien mungkin.

"Justru baik sebab pemerintah tidak seenaknya mencetak uang. Dengan UU itu pula, BI (Bank Indonesia) sebagi bank sentral akan lebih independen dan fukos pada fungsinya yakni menjaga inflasi, mengendalikan nilai tukar serta stimulus pertumbuhan ekonomi," katanya.

Ditanya terkait janji salah satu pasangan capres yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tujuh persen, pengamat Pasar Modal itu mengilai janji tersebut masih logis.

"Kalau dilihat kemampuan pemerintah itu bisa saja sebab masih ada beberapa stimulus ekonomi yang belum digarap maksimal seperti pada sektor pajak. Pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen masih bisa diterima secara logis, kecuali jika pertumbuhan hingga 10 persen itu yang sulit sebab sama artinya pertumbuhan investasi Indonesia setara dengan 100 persen," ungkap Poltak Hotradero. (*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009