Jakarta (ANTARA News) - "Orang yang terkena HIV/AIDS memerlukan cinta dan respek kita. HIV/AIDS itu seperti penyakit-penyakit lainnya," kata Sheikh Ramadhan Salum, ulama terkemuka Uganda, seperti dikutip The Guardian (12/1/2007).

Pesan sama reformatifnya disuarakan Imam Masjid Al Nour, Kairo, Sheikh Ahmad Turky, pada satu acara PBB, September 2007, "Yang kita perangi penyakitnya, bukan orangnya. Kita tidak boleh mematikan perasaan kita pada pasien yang memerlukan cinta dan bantuan kita."

Pemikiran religius reformatif seperti ini sangat diperlukan untuk membendung laju pertambahan jumlah penderita AIDS, termasuk Indonesia.

Ini karena AIDS menjadi sulit dideteksi mengingat penderita cenderung menutup diri akibat stigma dan diskriminasi sosial yang memaksa penderita merahasiakan penyakitnya dari keluarga, teman, tetangga, bahkan dokter. Pada keadaan ini AIDS berubah menjadi bahaya laten yang dengan ganas menyerang siapapun.

Konsekuensinya, jumlah penderita AIDS bertambah. Di Indonesia, mengutip Departemen Kesehatan, pada 2002 ada 110 ribu pengidap HIV, naik menjadi 193 ribu orang pada 2006, naik lagi pada 2007-2008 menjadi 270 ribu orang atau 0,16 persen dari total populasi.

"Tanpa ada intervensi, pada 2015 bakal ada sejuta orang terinfeksi HIV, 350 ribu orang meninggal karena HIV dan 38.500 kasus HIV pada anak," kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Juni tahun lalu.

Stigma dan diskriminasi agaknya telah menjadi persoalan yang mendesak disikapi, mengingat alienasi penderita AIDS hanya membuat penyakit ini makin sulit dideteksi.

"Masalah utama AIDS adalah diskriminasi dan stigma yang secara subtansial telah mengganggu upaya-upaya pencegahannya," aku PBB dalam satu laporannya, Juli 2004.


Lebih sulit


UNAIDS, badan PBB khusus AIDS, menguraikan, stigma dan diskriminasi mengantarkan penderita AIDS pada depresi, rendah diri dan terasing, lalu mencipta iklim dimana orang menjadi lebih takut pada stigma dan diskriminasi, ketimbang pada AIDSnya sendiri.

Penderita AIDS memilih mengabaikan kemungkinan bahwa mereka positif terserang HIV meski mereka mengetahui risikonya. Keadaan ini lalu berubah menjadi satu lingkungan dalam mana penyakit menjadi lebih mudah tersebar.

Stigma dan diskriminasi juga membuat penderita AIDS menarik diri dari keperansertaannya dalam mencegah penyakit ini tersebar ke masyarakat.

Persoalan stigma dan diskriminasi AIDS ini juga diakui banyak kalangan di Indonesia sebagai faktor dibalik makin sulit dideteksi dan kian agresifnya AIDS di negeri ini.

Wakil Walikota Bandung Ayi Vivananda misalnya, menyebut keengganan masyarakat melaporkan penyakit ini telah memperbesar jumlah penderita AIDS di Bandung.

Klaim serupa dikemukakan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf yang menyebut 20.810 pengidap HIV/AIDS di provinsi ini tak terdeteksi sehingga pencegahan penyebaran AIDS menjadi sulit dilakukan.

Keadaan ini telah memperburuk keadaan dimana AIDS kini menyebar ke pihak yang selama ini tak ada kaitannya dengan soal susila, predikat yang selama ini lekat dengan penyebab AIDS. Ibu-ibu rumah tangga, anak kecil dan bayi adalah diantara kelompok ini.

Di Malang, mengutip Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Enny Sekar Rengganingati, 109 ibu rumah tangga positif terinfeksi HIV/AID, sementara di Cilegon, bocah berusia enam tahun positif tertular HIV/AIDS.

Di Denpasar, 27 bayi dan balita dari beberapa keluarga diketahui mengidap virus HIV, sedangkan di Banda Aceh, mengutip Ketua Komisi Penanggulan AIDS Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal, lima siswa terjangkit penyakit kelamin yang dapat memburuk menjadi AIDS.

Stigma dan diskriminasi ini sendiri benar-benar terjadi pada masyarakat kita.

Contohnya di Pekanbaru, di mana satu jenazah penderita AIDS ditelantarkan keluarganya di RSUD Arifin Achmad karena keluarga malu mengetahui korban meninggal gara-gara AIDS.

Di Jember, 90 persen penderita HIV/AIDS meninggal dunia di rumahnya karena pergi ke rumah sakit hanya akan membuat masyarakat mengetahui penyakit mereka untuk kemudian mencibiri para penderita AIDS.

Ironisnya, sikap sebagian dunia medis juga diskriminatif. Di Medan, mengutip Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, Umar Zein, perhatian pada pasien terinfeksi HIV/AIDS sangat minim karena dokter dan tenaga kesehatan enggan melayani pasien terinfeksi virus mematikan itu.


Bukan Azab


Dari gambaran itu, stigma dan diskriminasi telah mendegradasi kemuliaan manusia dan justru memperlebar tabir ancaman terkena AIDS, sementara masyarakat tak tahu pasti bagaimana penyakit ini bisa dihentikan.

Yang lebih mengenaskan adalah pada saat bersamaan, ada pergeseran prilaku yang justru diklaim menjadi penyebab utama tersebarnya virus HIV/AIDS, yaitu seks bebas yang berlaku pada semua kalangan, termasuk remaja.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mengklaim prilaku seks bebas menjadi penyebab utama HIV/AIDS, tepatnya 55 persen dari total penyebab AIDS, menggeser pengguna narkoba suntik. Dari 55 persen itu, 48,4 persen adalah seks bebas heteroseksual, diantaranya dilakukan remaja.

Berdasarkan penelitian BKKBN di lima kota Indonesia, 16,35% remaja mengaku telah berhubungan seks di luar nikah, di Kupang 42,5%, sedangkan 17% remaja Palembang dan Tasikmalaya mengaku melakukan hal sama.

Padahal, seperti disebut di muka, seks bebas adalah penyebab utama kian menyebarnya AIDS di Indonesia.

Fakta-fakta ini menunjukkan, pendekatan-pendekatan dalam menghentikan penyebaran AIDS tak begitu efektif sehingga harus ada strategi yang lebih kreatif dan reformatif.

Strategi baru itu menyangkut upaya memanusiakan penderita AIDS sehingga mereka merasa menjadi bagian dari penyelesaian masalah seputar AIDS.

Mengasingkan mereka berarti menutup peluang bagaimana kita mesti memberi perlakuan tepat terhadap penyebaran AIDS.

Menarik masuk penderita AIDS dalam masyarakat akan berarti memberi kesempatan pada mereka untuk membuka diri sehingga AIDS tak menjadi hantu laten yang menyulitkan kita bersikap.

Dan upaya maju ini memerlukan peran ulama dan kaum agawaman lain karena merekalah yang paling mampu meruntuhkan benteng stigma itu.

Kebetulan, belakangan ini kita sudah tidak terlalu sulit lagi memperoleh pandangan agamawan dalam meluluhkan stigma terhadap penderita AIDS itu yang salah satunya dilontarkan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Pasuruan KH Sonhaji.

"Penyakit AIDS tidak lagi harus dipandang sebagai penyakit yang diderita seseorang sebagai bentuk azab akibat melakukan perbuatan maksiat," kata KH Sonhaji.

Di bawah semakin besarnya jumlah penderita AIDS dan kian sporadisnya prilaku seks bebas yang kini menjadi penyebab utama meluasnya AIDS, kita patut mengaplikasikan cara pandang reformatif seperti disampaikan KH Sonhaji, sehingga penderita AIDS makin terbuka dan aktif terlibat dalam mengatasi penyebaran virus maut itu.

Tentu saja, upaya ini tetap bersisian dengan moralitas agama. (*)

Pewarta: Munawar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009